REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Penerapan pajak restoran di Kabupaten Sleman dinilai kurang tepat sasaran. Alasannya, banyak pedagang yang tergolong tidak wajib pajak, justru dikenakan biaya penarikan tersebut.
Seorang pedagang sate padang kaki lima di kawasan Jalan Godean, Sleman mengaku, setiap hari dirinya harus membayar karcis bertuliskan pajak restoran seharga Rp 1.000 pada petugas keliling. Ia meyakini warung makan tersebut tidak termaksud dalam katagori restoran.
“Bila PKL dikenakan pajak, harusnya karcis tersebut tertulis, pajak PKL bukan pajak restoran,” katanya.
Keluhan senada juga dilontarkan seorang pedagang roti bakar di Jalan Kaliurang KM 7. Dia menyatakan, selang dua atau tiga hari sekali, ada petugas karcis yang menagihkan uang sebesar Rp 1.000 padanya, namun dalam karcis tersebut tidak tercantum stempel yang mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman. “Mereka biasanya datang sekitar pukul 20.00 malam,” ujarnya
Dia mengaku risih dengan pungutan liar itu. Ia menduga jumlah uang yang diperoleh dari para PKL tersebut tentunya sangat besar, sedangkan keabsahannya belum bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, dia berharap, Pemkab Sleman dapat menelusuri permasalahan tersebut.
Berbeda dengan seorang penjual pecel lele di daerah tersebut. Meski sudah lama berjualan di Jalan Kaliurang, dia sama sekali belum pernah didatangi petugas karcis seperti beberapa PKL sebelumnya. Ia rupanya membayar sewa tempat pada pemilik tanah di lokasi itu.
Dia menambahkan, setiap bulannya harus membayarkan uang kontrak berkisar Rp 400 hingga Rp 500 ribu. Biaya sewa itu, ungkapnya, sudah termaksud uang listrik dan kebersihannya. “Mungkin yang tidak membayar uang sewa dikenakan pajak tersebut,” ujarnya.
Kepala Bidang Pendaftaran dan Pendataan, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sleman, Haris Sutarta mengatakan, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2011 mengenai pajak restoran, ketentuan itu dimaksud bagi para penjual makanan yang menyediakan tempat makan tersendiri. Meskipun tidak berada di kios atau dalam ruangan, pajak tersebut tetap akan berlaku.
Ia juga menyebutkan ada pengecualian bagi rumah makan yang omsetnya tidak mencapai Rp 600 ribu per Sayangnya, kata Haris, PKL selalu berpindah-pindah tempat dalam memilih area berjualan, sehingga sulit bagi Dispenda mendata serta mendaftarakan mereka dalam katagori wajib pajak.
“Makanya, banyak juga yang belum membayar pajak restoran,” kata Haris.
Padahal, dia mengatakan, bila PKL tersebut membayarkan kontrak pada pemilik lahan di lokasi mereka berjulan, uang tersebut tidak masuk dalam pendapatan daerah. Karena itu, sangat disayangkan bila lokasi berjualan yang seharusnya kena pajak, malah tidak terpantau.
Ia membantah ada penarikan pajak kepada pedagang kaki lima yang hanya menggunakan gerobak. Bila memang ada laporan semacam itu, ke depan, pihak Dispenda akan lebih memperketat pengawasannya.
“Ke depan, kami akan berikan ID Card dan seragam pada petugas pajak, agar pedagang bisa mengenali mereka,” katanya.