REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan kemampuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yaitu, jika terjadi krisis konstitusional, apakah SBY berani mengeluarkan dekrit untuk memperpanjang jabatannya.
"Saya tak ingin menjawab pertanyaan di atas. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kalau itu terjadi, negara ini benar-benar berada dalam dilema," kata Yusril, Senin (18/2) malam.
Sebelumnya, Yusril memperingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan potensi krisis konstitusional. Krisis ini diperkirakan akan terjadi jika KPU tidak bisa menjalankan perannya dengan baik.
Yusril mengaku khawatir para komisioner KPU tidak mampu menyelenggarakan pemilu seperti diamanatkan oleh UUD 1945 dan undang-undang. Ini setelah melihat rekam jejak mereka selama ini.
Menurutnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan tindakan revolusioner di luar hukum dan konstitusi. Karena itu keabsahan dekrit bukan harus dilihat dari sudut staatsnoodrechts atau noodstaatsrecht. Keabsahannya, sejauh mana presiden mampu mempertahankan dekrit itu.
Kalau dia berhasil dan diterima rakyat, maka dekrit menjadi sah. Malah, kalau presiden berhasil pertahankan dekrit, dia bisa dianggap sebagai pahlawan penyelamat negara yang berada dalam keadaan darurat
"Sebaliknya, jika presiden gagal mempertahankan dekrit, dia bisa dituduh pengkhianat dan dapat dituntut di muka pengadilan," papar Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang tersebut.
Karenanya, jika presiden mau mengeluarkan dekrit, dia harus menghitung betul kekuatan politik dan rakyat yang akan mendukungnya.
Menurutnya, Sukarno berani mengeluarkan dekrit 1959 karena didukung oleh TNI seluruhnya. Khususnya melalui AH Nasution yang lebih dulu sudah umumkan negara dalam status darurat perang.
Ketika itu, lanjut dia, PNI, PKI serta beberapa partai lain mendukung rencana Dekrit. Kekuatan mereka kira-kira 52 persen. Yang menentang rencana Dekrit ialah Masyumi, NU dan PSII dengan kekuatan di parlemen dan konstituante sekitar 48 persen.
"Dalam kondisi seperti di atas, ditambah pengaruh pribadinya yang luar biasa, Sukarno berhasil pertahankan Dekrit. Maka tindakan revolusi hukumnya sah."
Ia pun membandingkan apa yang dilakukan Sukarno dengan kasus Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yusril mengaku sudah menjelaskan apa yang terjadi di masa Sukarno kepada Gus Dur ketika ia mau mengeluarkan dekrit membubarkan DPR/MPR.
Menurutnya, Gus Dur tidak mendapat dukungan TNI, Polisi, politisi dan rakyat untuk keluarkan dekrit. Sehingga revolusi hukumnya akan gagal.
Gus Dur, lanjutnya, kemudian marah. "Megawati hanya senyum. SBY, Widodo AS dan Agum Gumelar setuju pendapat saya, tapi mereka tidak mau kritik Gus Dur. Gus Dur menyuruh saya keluar sidang kabinet. Saya pun keluar. Besoknya saya dipecat dari Menteri Kehakiman dan HAM," papar dia.