Kamis 14 Feb 2013 14:47 WIB

Menjerat Pemberi dan Penerima Gratifikasi Seksual (2-habis)

Rep: Siwi Tri Puji/Erdy Nasrul/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Hukum dan Keadilan (ilustrasi)
Foto: RESPONSIBLECHOICE
Hukum dan Keadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Tak semua mendukung rencana KPK untuk menjerat penerima gratifikasi layanan seks. Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir, menilai, gagasan itu susah diwujudkan.

Selain sulit dibuktikan, kasus seks itu juga bukan masuk domain suap. "Silakan saja jika ada bukti, tapi apa ini masuk delik susila, apalagi jika itu dilakukan secara suka sama suka," kata Nudirman pada Republika Online.

Ia mengatakan, banyak kendala jika aturan gratifikasi seks diberlakukan. Selain persidangan yang digelar nantinya harus tertutup, nama baik keluarga dan keturunan bisa terancam.

Pasalnya jika telah diumumkan KPK, wanita yang dijerat itu bakal diumumkan namanya. Apalagi KPK tidak mengenal persidangan tertutup dalam menyidangkan kasus.

"Persoalan layanan seks ini masuk pidana umum, bukan pidana khusus. Persoalan itu juga bukan kewenangan KPK," ujar Nudirman.

Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono mengakui menyeret pelaku gratifikasi layanan seks ke pengadilan pun bukan perkara gampang. "Pembuktiannya tidak mudah, jadi ini jatuhnya ke case building  (pembangunan kerangka kasus) karena itu harus dibuktikan," katanya.

Dalam Pasal 12B ayat 1 undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan pengobatan cuma-cuma.

Giri menerangkan, sejauh ini KPK belum menerima laporan penerimaan gratifikasi seks ke lembaganya. Namun tak menutup kemungkinan akan terjadi di kemudian hari. "Kita harus belajar dari Singapura," katanya.

Pimpinan KPK Adnan Pandu Praja menyatakan pembahasan sanksi terhadap para pelaku gratifikasi seks ini sangat menarik. Apalagi jika hal itu dapat dikonversi dalam ukuran rupiah.

Sebab, selama ini dalam undang-undang yang ada, kebanyakan peraturan mengenai sanksi gratifikasi terdapat batasan-batasan nominal rupiah.

"Yang diatur itu ada batasan-batasan rupiahnya. Kalau bisa dijadikan ukuran rupiah, itu menarik,” katanya.

Untuk menakar sebuah hadiah dimasukkan dalam katagori suap atau bukan, nilai nominal masih dijadikan patokan. Karenanya, kalaupun hendak dibuatkan aturan, harus dilakukan secara teliti dan hati-hati.

Sayangnya aturan kita masih seperti itu. Merujuk pada UNCAC memang masih harus disempurnakan. “Beberapa instansi ragu apakah itu termasuk gratifikasi," aku

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement