REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengusulkan perlunya Undang-Undang terkait ideologi komunis yang dilarang tapi sampai saat ini masih ada di Indonesia, namun UU itu harus memasukkan aspek sanksi hukum yang tegas.
"Kalau memang rakyat setuju, Undang-Undang tentang itu perlu disiapkan (dengan mengatur sanksi)," katanya saat berbicara dalam sarasehan 'Sinyalemen Kebangkitan Kembali Gerakan Komunis Indonesia' di Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa.
Ia mengatakan, ideologi komunis di Indonesia dilarang, namun hingga kini belum ada UU yang mengatur tentang hal itu secara pasti dan tegas, padahal untuk membawa orang ke penjara harus ada UU yang mengaturnya.
"Selama ini, sanksi yang diterapkan lebih banyak sanksi politik atau tidak lagi dihukum secara pidana, sehingga ideologi itu tetap ada sampai sekarang, bahkan juga masih dianut oleh sejumlah pihak," katanya.
Namun, adanya sinyalemen kebangkitan komunis di Indonesia, Mahfud mengaku belum tahu secara pasti.
"Dulu, ada UU Subversi yang bisa mengatur tentang gerakan-gerakan untuk kepentingan ketertiban, keamanan, dan stabilitas, namun UU itu sudah dicabut," katanya.
Saat ini, jika ada yang mengaku mempunyai ideologi komunis, maka tidak ada sanksi pidana baginya, kecuali jika mengajak orang lain. Bahkan, ada juga ketetapan MPR yang tidak melarang komunis.
"Orang mengaku komunis, atheis di Indonesia tidak bisa dijatuhi hukuman. Yang ditolak hanya di tataran ideologi, tapi secara hukum masih bebas," katanya.
Pihaknya mendukung berbagai gerakan yang dilakukan masyarakat seperti "civil society" untuk mengatur soal itu, karena dengan hal itu akan bisa meningkatkan berbagai pemahaman tentang negara dan ideologi bernegara.
Sementara itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi mengkritik Komnas HAM tentang rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas penyelidikan peristiwa pada 1965-1966.
Komnas HAM dalam penyelidikan menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah terhadap sejumlah masyarakat pada 1965-1966. Meski tidak menyebutkan secara gamblang, masyarakat yang dimaksud tersebut yaitu simpatisan PKI.
Ia menyebut, peristiwa 1965-1966 itu adalah sebuah upaya revolusi akibat pemberontakan PKI pada tahun 1948. Diharapkan, Komnas HAM jangan melihat masalah ini semata-mata hak asasi manusia, tapi lebih pada upaya pemberontakan PKI yang dinilai telah melanggar nilai-nilai Pancasila.
Pihaknya berharap, masyarakat akan kembali pada Pancasila. Pemimpin pun diminta harus secara konsekuen atas berbagai perubahan yuridis formal, dan jangan sampai terpecah akan berbagai isu atau gerakan yang justru menjauhkan dari nilai-nilai Pancasila.
Acara sarasehan itu digelar di PP Tebuireng, Kabupaten Jombang dengan menampilkan sejumlah narasumber, yakni Ketua MK Mahfud MD, budayawan dan sastrawan Indonesia Taufik Ismail serta staf ahli Kapolri Anton Tabah.
Kegiatan itu dihadiri puluhan tamu undangan baik dari unsur polisi, TNI, sampai masyarakat.