REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dalam sidang perdananya, terdakwa kasus teror bom Maskapai Penerbangan Lion Air di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, Andrea Giovanni S, tidak didampingi penasihat hukum. Padahal, dia mengaku sudah meminta bantuan pengacara.
Ketika Ketua Majelis Hakim, Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Mulyanto menanyakan soal kuasa hukumnya, dia tampak kebingungan. Karena tidak adanya kuasa hukum yang mendampinginya, terdakwa kemudian menjalani proses sidang tersebut seorang diri.
"Ancaman pidana kasus ini di atas lima tahun. Sehingga terdakwa wajib didampingi pengacara," kata Mulyanto, Kamis (7/2).
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Jaka Purwanta menjerat Geovanni dengan pasal berlapis. Dakwaan primer yaitu Pasal 7 jo 27 Perpu No 1/2002 yang ditetapkan menjadi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal ini memiliki ketentuan ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup.
Sedangkan dakwaan alternatif ke satu Pasal 479 KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarpras Penerbangan. Lalu Pasal 335 ayat 1 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Dalam dakwaan yang teregister dengan nomer perkara 56/PID.B/2013/PN.SLMN
Kejadian itu bermula ketika terdakwa dinyatakan dengan sengaja telah menimbulkan suasana teror bom pada pesawat Lion Air tujuan Denpasar, Bali, Ahad (14/10). Modus yang dilakukan adalah dengan menakut-nakuti pegawai maskapai tersebut, Yuli Purwanto melalui telepon.
Setelah adanya telpon itu, operator maskapai lalu melakukan pengecekan terhadap pesawat Lion Air JT 568. Pihak Gegana Brimob Polda DIY juga diterjunkan untuk menyisir lokasi bandara. Namun tidak ditemukan barang berbahaya.
"Ini semua hanya salah paham," kata Geovani usai persidangan tersebut.