Jumat 01 Feb 2013 10:52 WIB

Kasus LHI dan Pertanyaan Soal Korupsi

Koruptor (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Koruptor (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Bangku di tengah ruang sidang di Pengadilan Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) seakan menjadi cermin nyata Bhineka Tunggal Ika di Indonesia. Pria, wanita, berbagai latar suku, serta agama secara bergantian menduduki kursi ini.

Sayangnya, segala kebhinekaan ini harus terjadi dalam kasus korupsi. Mulai dari artis, pengusaha, menteri, politisi, hingga pemuka agama pernah singgah di kursi pesakitan pelaku korupsi.

Gila. Itulah yang mungkin bisa kita ucapkan melihat segala fenomena korupsi ini. Makin gila lagi karena kasus korupsi tidak mengenal kata henti.

Ibarat mati satu tumbuh seribu, kasus korupsi hanya berganti baju pelaku. Terakhir, kasus dugaan korupsi terkuak oleh penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus ini bermula dari penggerebekan petugas KPK di sebuah hotel elite di Jakarta, Selasa (29/1). Nama petinggi partai politik pengusung tema religius dan bersih, ikut terseret. Tidak tanggung-tanggung, nama eks Ketua Partai Keadilan Sejakhtera Lutfi Hasan Ishaq alias LHI masuk dalam pusaran kasus. 

Penggerebekan KPK menjadi bukti bahwa korupsi belum berhenti. Sebaliknya, korupsi makin menggila.

Ibarat jenggot yang terbakar, para politisi partai PKS yang terseret dalam kasus ini buru-buru bela diri. Ini laiknya lakon klasik korupsi di Indonesia, di mana pihak yang dijerat KPK selalu melontarkan sejurus kata. Beraneka sumpah serta kata bantah deras meluncur. Nama tuhan pun tak jarang dibawa-bawa

Terserah Anda mau percaya atau tidak dengan kata pembelaan mereka. Hal yang jelas, lebih baik menunggu siapakah penghuni baru kursi korupsi ketimbang mendengar ocehan belaan.

Sebagai masyarakat, kita mungkin hanya bisa mengutuk tindakan pelaku. Namun, pernahkah Anda berpikir, mengapa segala korupsi ini terus terjadi tanpa mengenal kata henti?

Bagi Anda yang sampai saat ini belum pernah melakukan korupsi, silakan juga berpikir, mengapa Anda belum melakukannya? Apa karena memang Anda antikorupsi atau justru karena belum punya kesempatan?

Saya pribadi tidak mau buru-buru menjawab pertanyaan ini. Sebab, saya belum pernah mengalami situasi dan posisi seperti dialami pelaku korupsi.

Terlepas dari segala pertanyaan itu, bangsa Indonesia memang masih perlu tenaga lebih dalam usaha pemberantasan korupsi. Puluhan aksi penggerebekan terbukti tidak mempan. Hukuman penjara pun nyatanya tidak memberi efek jera.

Karena terbukti godaan korupsi masih terlalu sakti. Rasanya, hukuman mati bisa jadi solusi.

KPK pun harus putar otak untuk tidak sekadar melakukan aksi penangkapan. Usaha pencegahan korupsi mutlak diperlukan. Sebab, sadar atau tidak, budaya korupsi sudah tertanam di masyarakat.

Mau bukti, silakan berkaca pada diri sendiri. Apakah listrik di rumah Anda memakai alat pencuri? Ataukah Anda kerap menggunakan waktu kerja untuk kegiatan pribadi?

Jika jawabannya ya, maka ya, prilaku korupsi bersemayam dalam diri Anda. Tidak peduli anda mahasiswa, pegiat antikorupsi, atau ustadz berpeci. Hati-hati!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement