REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar politik Saleh Partaonan Daulay menilai bahwa dari awal Surya Paloh memang berniat menjadi ketua umum Partai Nasdem karena sebagai penggagas utama dia merasa berhak menjadi lokomotif partai itu.
"Sebagai penggagas utama, Surya Paloh merasa bahwa dialah yang paling berhak untuk menjadi lokomotif Partai Nasdem dalam memenangkan Pemilu 2014. Karena langkah itu sudah lama diniatkan, seharusnya mereka yang tidak setuju dengan rencana itu tidak ikut bergabung," kata Saleh Partaonan Daulay dihubungi di Jakarta, Selasa (22/1).
Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan pada dasarnya Partai Nasdem didirikan untuk memberikan ruang bagi kader-kader Partai Golkar yang tidak diakomodasi pada musyawarah nasional di Pekan Baru, beberapa tahun lalu.
Mereka itu lah, kata Saleh, para penggagas dan deklarator Partai Nasdem. Setelah partai berdiri dan dinyatakan lolos verfikasi peserta Pemilu 2014, mereka ingin berkuasa di bawah kendali Surya Paloh.
"Bagi kelompok itu, Hary Tanoe dan beberapa orang lainnya adalah pendatang baru. Karena itu, mereka harus legowo untuk ditempatkan pada posisi-posisi sesuai keinginan para penggagas tersebut," tuturnya.
Selain itu, kata Saleh, mereka juga sepertinya khawatir dengan kekuatan yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo. Sebelum mendominasi, kemungkinan kekuatan itu dilumpuhkan dengan cara melakukan reposisi kepengurusan di internal Partai Nasdem.
Saleh menilai pengunduran diri Hary Tanoesoedibjo dari Partai Nasdem sebagai langkah yang tidak tepat. Seharusnya, Hary Tanoesoedibjo dan Surya Paloh perlu duduk bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Sebagai tokoh yang disegani di Partai Nasdem, kedua orang itu diyakini mampu meredam konflik dan perbedaan pendapat yang ada. "Bukankah selama ini mereka bisa duduk dan bekerja bersama? Mengapa karena urusan reposisi kepengurusan menyebabkan keduanya tidak bisa bersama lagi?" katanya.