REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menilai pengunduran diri Ketua Dewan Pakar Partai NasDem Hary Tanoesoedibjo ibarat bunga yang layu sebelum mekar. Di awal kiprahnya sebagai peserta pemilu, kata dia, Partai NasDem justru mengalami ketidakharmonisan internal.
"Sejak awal koalisi antara dua pemilik media raksasa ini sudah diprediksi tidak akan bertahan lama. Fatsoen politik keduanya pun juga berseberangan," katanya dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin (21/1) malam.
Partai NasDem, lanjut dia, juga seperti mengulang sejarah retaknya Partai Golkar sebagai cikal-bakal berdirinya Nasional Demokrat.
"Yang satu merasa dizalimi Golkar, sedangkan yang lain kecewa berat dengan SBY akibat kasus Sisminbakum. Dua matahari kembar yang memiliki kekuatan dukungan media besar itu sangat sulit disatukan dalam satu biduk. Akibatnya, satu akan kecewa dan satu lagi akan tetap bertahan," jelasnya.
Jika saja kepentingan dan ego politik dari Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo dikesampingkan, hal itu dapat berdampak pada elektabilitas Partai NasDem di Pemilu 2014.
Menurut dia, Partai NasDem akan dapat mengungguli sejumlah parpol menengah, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). "Bahkan bisa saja berpotensi menggeser Partai Demokrat," tambahnya.
Dualisme dalam tubuh Partai NasDem, lanjutnya, semakin memperkuat asumsi bahwa parpol di Tanah Air bukan dibangun dengan ideologi kokoh, melainkan sarat akan kepentingan elit.
Aroma ketidakharmonisan antara pendiri Partai Nasdem dan Hary Tanoesoedibjo, yang bergabung sejak 9 April 2012, sudah berhembus lama, bahkan menyeret konflik di organisasi sayap ormas Nasional Demokrat, Garda Pemuda NasDem.
Senin siang tadi, Hary Tanoe resmi mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Ketua Dewan Majelis Surya Paloh dan menyatakan tidak lagi menjadi anggota partai baru tersebut.