REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Konflik perebutan kursi Ketua Umum Partai Nasdem kian memanas. Dua tokoh yang kerap disebut terlibat dalam konflik Nasdem adalah Harry Tanoe Sudibyo dan Surya Paloh.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ary Dwipayana menyatakan logika pertarungan dua elite Nasdem tersebut merupakan sesuatu yang tak terelakan. Ini terjadi seiring menguatnya popularitas Nasdem di masyarakat. “Nasdem dianggap partai baru yang sedang mekar,” kata Ary kepada Republika di Jakarta, Kamis (17/1).
Ary menyatakan konflik dua elite Nasdem tersebut tak lepas dari latar belakang historis pendirian Nasdem. Sebagai partai yang didirikan oleh elite-elite politik, Nasdem cenderung menumpukan gerakannya pada kekuatan figur. Nasdem bukan partai gerakan. Dari awal partai ini dibentuk dari kekecewaan para elite, ujar Ary.
Sentralisme elite di tubuh Nasdem menemukan babak baru ketika Harry Tanoe Sudibyo bergabung. Ary menyatakan Harry Tanoe menjadi bukti, pentingnya peran materi bagi gerakan politik Partai Nasdem. Sampai di sini, figur partai tak lagi semata-mata dibentuk oleh peran dan pengabdian tapi juga lewat kekuatan materi.
“Seperti ada matahari kembar di Nasdem yakni Harry Tanoe dengan Surya paloh,” kata Ary.
Pertarungan antara Harry Tanoe dan Surya Paloh berdampak pada citra politik yang dibangun Nasdem. Akan ada tafsir di masyarakat bahwa konflik di antara keduanya sebagai persaingan firma bisnis dua raja media. Alhasil siapa yang menyumbang paling besar untuk partai akan memiliki posisi yang sama kuatnya dengan pendiri Nasdem. Kekuatan modal menjadi penentu baru dalam dinamika di internal Nasdem, ujar Ary
Pada akhirnya pertarungan antara Harry Tanoe dan Surya Paloh akan berdampak pada persoalan konsolidasi internal. Publik akan menilai Nasdem sebagai partai yang gagal mengusung jargon perubahan. Menurut Ary, Ketika Nasdem tidak mampu mengelola konflik, imej yang dibuat Nasdem tidak akan bisa berguna.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Nasdem, Ferry Mursyidan Baldan mengakui ada elite Nasdem yang ingin memecah belah soliditas partai. Tanpa mau menyebut elite yang dia maksud, Ferry mengatakan sang elite ingin menunggangi popularitas Nasdem demi keuntungan pribadi.
Ferry menyatakan setiap partai memiliki mekanisme dalam memilih pemimpin. Dia misalnya mencotohkan Partai Golkar. Menurutnya, untuk bisa menjadi Ketua Umum Partai Golkar, seorang kader setidaknya mesti mengabdi bagi partai selama lima tahun. “Ini baru bergabung di tengah jalan kok sudah langsung mau menjadi ketua umum. Tahu dirilah,” ujarnya.
Sebagai partai baru, Nasdem perlu melakukan penguatan institusi. Ferry menyatakan penguatan institusi hanya bisa dilakukan oleh tokoh yang memiliki reputasi kuat di internal partai sebagai pendiri sekaligus penggagas. Ferry lalu menyebut nama Surya Paloh. “Daerah bertanya kapan Pak SP (Surya Paloh) menjadi ketum?”.