REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Uji materiil (judicial review) Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang (UU) 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Hakim konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, pekerjaan tukang gigi merupakan pekerjaan yang diperoleh secara turun temurun sebelum adanya kedokteran gigi di Indonesia. Bahkan, pekerjaan tukang gigi tersebut menjadi inspirasi berdirinya lembaga pendidikan kedokteran gigi di Indonesia, Stavit (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) di Surabaya pada 1928.
Menurut Hamdan, profesi tukang gigi telah eksis dan diakui keberadaannya lewat dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 339/MENKES/PER/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi, tanggal 24 Mei 1989. Tugas mereka diberikan kewenangan membuat gigi tiruan lepasan dari karilik sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan lepasan.
Namun keberadaan Permenkes 1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Permenkes 339/MENKES/PER/V/1989, tanggal 5 September 2011 telah mendiskriminasikan pekerjaan tukang gigi. Sebab dalam aturan itu ditegaskan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang, dan bukan merupakan kewenangan tukang gigi.
Ketentuan tersebut dipertegas kembali oleh Peraturan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Nomor 445/2082-Dinkes, perihal Praktik Tukang Gigi, tanggal 27 Februari 2012. Pokok isinya menyatakan tidak memperpanjang kembali izin praktik tukang gigi karena pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang.
“Hal tersebut bukan merupakan penyelesaian yang tepat, karena keberadaan tukang gigi dapat menjadi alternatif lain bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi yang terjangkau,” kata Hamdan.
Kondisi itu didasarkan pada pemikiran karena pemerintah hingga saat ini belum dapat menyediakan pelayanan gigi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat. Penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh tukang gigi ataupun juga karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki tukang gigi dapat diselesaikan melalui pembinaan, perizinan, dan pengawasan.
“Pengawasan dimaksudkan untuk mengontrol pekerjaan tukang gigi agar menjalankan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah dan memberikan sanksi kepada tukang gigi yang melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya,” tegas Hamdan.
Menurut Hamdan, perizinan dimaksudkan sebagai legalisasi tukang gigi untuk menjalankan pekerjaan sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Dengan demikian, Hamdan menambahkan, tukang gigi dapat dimasukkan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi negara dalam suatu peraturan tersendiri.
Dengan demikian, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 karena memberi ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 150 juta tidak lagi berkekuatan hukum tetap. “Pasal itu mengandung rumusan yang tidak jelas dan tidak tegas,” kata Hamdan.