REPUBLIKA.CO.ID, Senyumnya masih tersimpul. Tatap bocah berusia empat tahun itu tampak lurus ke kamera. Dengan dua jarinya yang membentuk huruf 'V', Ayu kecil masih berjuang tersenyum untuk menarik perhatian fotografer.
Foto di bingkai biru itu didekap erat Kurniato, ayah perempuan cilik itu. Matanya menerawang ke masa lalu. Menatap album kenangan bersama Ayu.
Adik Kurniato, Anjar, berkisah, ada satu permintaan yang sempat dikatakan Ayu sebelum wafat. Ayu minta dibelikan sepeda saat pergantian tahun nanti. “Dia minta sepeda supaya ibunya tidak repot,” ujar Anjar kepada Republika, Jumat (28/12).
Anjar mengenang Ayu sebagai anak yang ceria. Tubuhnya yang mengidap leukimia tidak menghalangi untuk mandiri. Ayu tahu saat dia sakit, ibunya, Roasih, kelelahan menggendong di sekitar rumah. Itulah satu-satunya alasan Ayu agar memiliki sepeda.
Sejak kecil, anak itu selalu tidak mau merepotkan. Bahkan, dia tak mau dijemput ketika pulang sekolah. Ayu memilih naik angkutan umum untuk pulang bersama temannya. Saat orang-orang tak sengaja menyenggol tubuhnya di jalan, Ayu cuma berteriak sakit tanpa menangis.
Penyakit itu agaknya terlalu kecil untuk Ayu rasakan. Ayu mestinya telah duduk di kelas empat sekolah dasar. Karena kanker, dia cuma merasakan duduk di kelas satu. Padahal, hasil rapor Ayu membuat dia seharusnya naik ke kelas dua. Namun, penyakitnya sudah makin parah. Dia pun memilih untuk berhenti.
Beruntung, Ayu sudah pandai baca, menulis, dan berhitung saat keluar dari sekolah. Di sela-sela perawatan, dia sering sekali menggambar dan mewarnai tokoh Barbie dan bunga-bungaan. Dia mendapatkan buku gambar yang dibeli di pinggir jalan dengan harga murah. “Lima ribu dapat tiga,” ujar Anjar.
Saat mewarnai, Ayu tak mau diganggu siapa pun. Tapi, begitu gambar bunganya selesai, dia baru menunjukkannya pada seisi rumah. Lantas berharap kerabatnya akan memberi pujian kepada hasil karyanya.
Selain menggambar, Ayu hobi makan tutut. Dia suka membeli di pasar atau di jalan. Kalau sudah makan tutut, ujar Anjar, Ayu tak rela membaginya dengan orang lain.
Ayu divonis leukimia sejak 2005. Dengan “tiket” Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Ayu dapat berobat gratis di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta. Hanya, Rabu (26/12) itu, hari Ayu menjadi kelabu. Penyakitnya kambuh sehingga harus masuk ruang intensive care unit (ICU).
Di sela perjuangannya menghadapi maut, Ayu dan keluarga harus diganggu dengan syuting sinetron Love in Paris di ruang yang sama. Keluarga pasien di ruang itu pun terganggu dengan aktivitas artis yang hilir mudik. Lepas tengah malam, Roasih panik. Putri manisnya dikabarkan koma. Detak jantung Roasih semakin kencang ketika pada Kamis (27/12), pukul 02.00 WIB, nyawa Ayu sempat “hilang”.
Dokter dan suster turun memompa jantungnya dengan alat. Kondisi Ayu kembali stabil setelah diberi napas bantuan. Namun, kelegaan itu hanya bertahan sejam. Setelah itu, tepat pukul 03.00 WIB, dokter mengabarkan kematian Ayu.
Roasih dan Kurnianto tidak menggugat apa pun dari rumah sakit. Selama lima tahun berobat di RSAB Harapan Kita, mereka sangat berterima kasih pada pelayanan hingga fasilitas rumah sakit itu.
Mereka tak berpikir kondisi Ayu bisa lebih baik jika tidak ada syuting tepat saat anaknya masuk ICU malam itu. Toh, hingga Ayu meninggal pun, mereka masih meneruskan syuting hingga pagi. Mereka, seperti keluarga pasien lain, hanya bertanya-tanya. Ruangan ICU yang seharusnya steril untuk pasien kritis seperti Ayu, malah digunakan syuting.
Bagaimanapun, Kurnianto dan keluarganya tak akan lagi melihat tingkah lucu Ayu. Dia akan pergi bekerja tanpa melihat anaknya berada di rumah lagi. Kakak-kakak Ayu, Rico (17) dan Cindy (15), serta ibunya pun seperti itu. Ayu tetap ada dalam bingkai kecil yang merekam senyum lebarnya.