REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejatinya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah wakil rakyat yang telah memilihnya. Sehingga, tidak heran jika kemudian, segala tindak tanduk dan pemikirannya selalu berpijak pada rakyat.
Namun, realitas politik tidak berbanding lurus dengan pemahaman di atas. Bahkan, bertolak belakang. Dalam keseharian politiknya, para anggota dewan justru lebih mengedepankan kepentingan parpol yang telah mengusungnya.
Kondisi bertolak belakang itulah yang tergambar dalam rencana renovasi ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR. Tak tanggung-tanggung, dana yang dipatok mencapai Rp 20,3 miliar. Angka yang fantastis untuk ruangan yang hanya seluas 10x10 meter.
Rinciannya, sebesar Rp 565,5 juta di antaranya digunakan untuk biaya konsultan perencana, Rp 234,39 juta untuk konsultan pengawas, dan Rp 19,995 miliar untuk renovasi.
"Renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran, dengan mengoptimalkan kapasitas dan fasilitas ruangan, seperti penggunaan furniture yang efisien, penggunaan sound system, dan layar monitor besar, maupun penggunaan akustik ruangan," ungkap Sekretaris Jenderal DPR RI Nining Indra Saleh.
Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saifuddin, menyayangkan, renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran DPR RI sebesar Rp 20 miliar. "DPR RI hendaknya lebih memprioritaskan peningkatan kinerja pada tiga fungsi utamanya yakni legislasi, budgeting, dan pengawasan," ungkapnya, Rabu (11/1).
Ia menjelaskan, renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran DPR RI merupakan proyek fisik yang manfaatnya lebih dirasakan anggota DPR. Ruang rapat Badan Anggaran DPR sebelumnya di Gedung Nusantara I, kata dia, masih cukup layak untuk digunakan. Sehingga kalaupun direnovasi tidak perlu sampai direnovasi total, apalagi sampai memindahkan ke ruangan lainnya menjadi ruang rapat baru Badan Anggaran di Gedung Nusantara II.
Anggaran untuk merenovasi ruang rapat baru Badan Anggaran, disarankan dia, lebih baik untuk mengoptimalkan tiga fungsi utama DPR RI. Apalagi, dari tiga fungsi utamanya, kinerja DPR masih belum optimal. Ia mencontohkan, realisasi penyelesaian rancangan undang-undang (RUU) melalui program legislasi nasional selalu jauh di bawah target.
"Masyarakat mempertanyakan kinerja DPR. Hendaknya DPR mengoptimalkan kinerjanya yang terkait dengan kepentingan khalayak luas daripada kepentingan anggota DPR sendiri," kata Lukman.
Politikus PPP ini juga mengingatkan DPR agar lebih meningkatkan daya sentivitas terhadap aspirasi masyarakat. Ia menilai, proyek pembangunan fisik di DPR termasuk renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran DPR RI, kurang transparan.
"Sebagai anggota Dewan yang tiap hari ke mari, saya tidak tahu kalau ada pekerjaan renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran," katanya. Menurut dia, wajar saja jika masyarakat mempertanyakan proyek fisik di DPR karena tidak mendapat informasi.
Kemarahan besar diperlihatkan Ketua DPR, Marzuki Alie. Saking marahnya, ia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan. Hal itu dilakukan untuk menyelidiki apakah ada unsur korupsi di balik renovasi ruangan Banggar DPR.
"Saya kaget ditanya tentang renovasi ruang Banggar senilai Rp 20 miliar, lebih kaget lagi setelah Sekjen mengatakan bahwa itu betul. Oleh karena itu, saya minta BPK dan KPK untuk turun tangan dan memeriksa apakah ada yang tidak beres dengan renovasi ruangan itu," ujar Marzuki, Rabu (11/1).
Menurut Marzuki, bagaimana pun ceritanya, harga tersebut tidak wajar. Berbagai bahan yang berasal dari impor, lanjut dia, justru menjadi pertanyaan. "Katanya ada teknologi tinggi, teknologi apa yang tinggi? Namanya ruang rapat, di seluruh dunia relatif sama, beda-beda tipis," tegasnya.
Marzuki juga mengaku kaget juga saat diinfokan renovasi itu sudah hampir selesai dikerjakan. Dirinya pun mempertanyakan hati nurani teman-teman sekjen ini. "Sudah sering sering saya sampaikan gunakanlah yang memang diperlukan, sesederhana mungkin tapi bermanfaat besar. Sama dengan komputer yang hanya digunakan untuk mengetik, tidak perlu dibeli komputer yang spesikasinya tinggi yang pasti mahal," tuturnya.
Atas masalah itu, pihaknya akan mengambil tindakan terhadap jajaran sekjen yang terbukti bermain-main dengan proyek ini. Dirinya saja sebagai Ketua DPR dan Ketua BURT tidak pernah diberi tahu. "Saya akan tindak siapapun yang bermain-main dalam proyek ini mulai dari sekjen sampai penanggungjawab lapangannya," katanya menegaskan.
Jika Ketua DPR marah besar, Sekretaris Kabinet Dipo Alam justru kaget. "Ruangan saya dengan staf yang lebih banyak dari ruangan Banggar DPR tidak menghabiskan dana sebanyak itu," ungkapnya, Kamis (12/1).
Wasekjen Partai Demokrat, Saan Mustopa, mempertanyakan kemewahan ruang rapat Banggar tersebut. "Memangnya ruangan itu dilapisi emas? Buat apa ruangan rapat yang bersifat umum itu dibuat semewah mungkin. Itu kurang pantas," kata Saan di Gedung DPR-RI, Jakarta, Jumat (13/1).
Ia menilai ruang rapat tak harus terlalu mewah. Setidaknya dapat digunakan sesuai dengan fungsinya. Saan pun meminta agar Setjen DPR menyampaikan laporan program itu secara transparan. Sebab, pembangunan ruangan tersebut hampir tidak ada yang tahu. Tiba-tiba saja ruangan tersebut sudah hampir selesai.
Menurut Saan, Setjen hanya berdalih dengan mengatakan alasan tidak bisa memberikan rincian proyek karena itu rahasia negara. Bagi Saan, informasi itu bukan rahasia negara. Karenanya, untuk kepentingan publik maka semua anggaran yang dikeluarkan harus bisa disampaikan. Apalagi jika sudah ada sorotan mengenai masalah itu.
Sebagai anggota Banggar, Saan pun mengaku tidak tahu mengenai program pembangunan tersebut. Jika Setjen mengatakan pembangunan ruangan tersebut berdasarkan permintaan Banggar, maka bisa dilihat dari risalah rapat. "Ada apa tidak dalam risalah rapat?" tanya dia.
Anggota Komisi III DPR-RI itu pun menyayangkan Setjen yang menjalankan program, tapi malah semakin memperburuk citra DPR. Harusnya, ketika Setjen mau melakukan sebuah proyek, hendaknya dibicarakan dan disampaikan ke DPR.
Minimal di tingkat pimpinan DPR dan fraksi. Sehingga, fraksi pun dapat memberikan masukan apakah proyek itu layak dilakukan atau tidak.
Wakil Ketua Badan Anggaran (banggar) DPR, Tamsil Linrung bahkan mengaku tidak mengetahui hal tersebut. Sebab, menurut dia, anggaran yang diputuskan banggar merupakan pagu keseluruhan pembangunan fisik gedung DPR yang mencapai Rp 500 miliar. Walaupun, keputusan besaran anggaran memang ada di tangan banggar.
"Itu semua pagu dibicarakan dan ditetapkan di banggar. Tapi tidak boleh ada yang sendiri-sendiri memutuskan anggaran di internal DPR kecuali badan yang sudah ditetapkan, yaitu BURT," katanya Senin (16/1).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu pun tidak yakin kalau BURT mengikuti detail anggaran itu karena sudah ada rumus mengenai ukuran pembangunan.
Menurutnya, banggar tidak mengetahui mengenai anggaran Rp 20,3 miliar itu karena pembahasan yang dilakukan tidak detil. Artinya, banggar memberikan dana Rp 500 miliar sepenuhnya ke setjen yang kemudian dipecah-pecah sesuai kebutuhan. "Yang diminta itu Rp 800 miliar lebih. Tapi yang kita kasih Rp 500 miliar," papar dia.
Karenanya, Tamsil sebagai pimpinan banggar mengaku tidak tahu mengenai alokasi Rp 20,3 miliar tersebut. "Masa hal yang detil-detil itu kami harus tahu. Sekjen itu yang harus menyampaikan hasil tendernya segala macam. Kita tunggulah laporan pertanggungjawaban sekjen nanti," cetus Tamsil.
Banyaknya penolakan, membuat Badan Kehormatan (BK) DPR melakukan pemeriksaan. Dan hasilnya, meminta ruang rapat Banggar dibongkar dan perabotannya dikembalikan. Beberapa yang dikembalikan adalah kursi impor seharga Rp 24 juta. Ruang Banggar hanya akan diisi kursi-kursi buatan lokal. Sound system juga termasuk akan dikembalikan.
Sementara karpet impor yang didatangkan dari Amerika seharga Rp 980 juta dibiarkan. Begitu juga video wall berukuran 3 x 4 meter, dan lampu, tetap dibiarkan. Harga pengadaan video wall ini mencapai Rp 1,9 miliar. "Kalau kami ganti tidak bagus," papar Ketua BK DPR, M Prakosa, Ahad (1/2).
Sedangkan karpet impor dari Amerika Serikat (AS) dan televisi layar lebar sebanyak tiga unit yang telah terpasang di ruang rapat Banggar tetap dibiarkan. Menurut Prakosa, karpetnya sudah terpasang, kalau diganti nanti ruangannya menjadi jelek, sehingga tetap dibiarkan. Untuk layar lebar tidak diganti, melainkan hanya sistem tata suaranya.
Kursi impor dari Jerman yang telah didatangkan ke ruang rapat Badan Anggaran DPR RI tersebut harganya Rp 24 juta per unit dan harga seluruhnya sekitar Rp 4 miliar. Untuk televisi layar lebar ukuran dua meter kali dua meter sebanyak tiga unit senilai Rp 3 miliar. Lampu impor dari Belanda harganya sekitar Rp3 miliar, serta karpet dari AS harganya sekitar Rp 900 juta. Nilai proyek seluruhnya untuk ruang Banggar adalah Rp 20,3 miliar.
BK DPR sudah memeriksa para pihak yang terlibat dalam proyek renovasi ruang Banggar ini, termasuk konsultan proyek. BK DPR menemukan pihak yang harus bertanggung jawab dalam proyek yang menelan Rp 20,3 miliar itu adalah pejabat pembuat komitmen, yaitu kepala biro di Setjen DPR.