REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Upaya membawa pulang koruptor kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra yang kini tercatat sebagai warga Papua New Guinea (PNG) belum menemui titik terang. Buruknya stabilitas pemerintahan dalam negeri di PNG menjadi faktor buntunya proses ekstradisi yang diupayakan pemerintah Indonesia.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Jaksa Agung (Kejagung), Darmono di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (17/12). Dia mengatakan, saat ini parlemen di negara tersebut sedang mengalami perombakan besar-besaran. Terakhir, perdana menteri mereka, Michael Somare dicopot dari jabatannya.
Hal tersebut menurut Darmono ikut mempengaruhi sikap PNG tekait upaya ekstradisi Djoko yang notabene bukan masalah mereka. "Permohonan ekstradisi yang kita layangkan pada Bulan Juni lalu tampaknya belum direspon positif. Sedang ada masalah di dalam negeri yang harus mereka urusi," ujar dia.
Darmono melanjutkan, meski demikian tidak berarti ekstradisi mantan bos PT Harum Persada Lestari itu mustahil diwujudkan. Dia mengatakan, kedatangan tim pemburu koruptor yang ia ketuai ini ke PNG seolah membuat negara tersebut terhenyak. Pemerintah setempat seolah diingatkan bahwa ada warga negara mereka yang pernah membuat masalah di Indonesia.
"Akhirnya mereka setuju dengan upaya yang kami ajukan untuk saudara Djoko. Langkah awalnya, kami kirim draft ekstradisinya dulu bulan depan," tambah dia.
Darmono mengatakan, draft ekstradisi ini merupakan media yang digunakan untuk meyakinkan pemerintah PNG bahwa Djoko layak diekstradisi dari sana. Didalamnya akan dijelaskan fakta rill dan kongkret yang menunjang alasan keinginan Indonesia membawa pulang Djoko Tjandra.
Ia mengakui, meskipun permohonan ekstradisi ini belum tentu akan pemerintah PNG kabulkan, Darmono mengaku timnya masih melihat celah lain. Cara Djoko Tjandra mendapatkan status kewarganegaraan yang diduga illegal akan dimanfaatkan betul timnya.
Dia mengatakan, bila Djoko dapat dibuktikan bersalah atas perbuatannya tersebut, maka buronan ini dapat dipulangkan ke Indonesia. "Kami akan coba dengan jalan deportasi. Bila dia sampai tertangkap oleh kepolisian setempat karena ulah pidananya di sana, maka kami bisa memulangkan dia," ujar Darmono.
Namun, menurutnya tim Satgas Kejagung akan mengoptimalkan opsi pertama dengan cara ekstradisi yang jika berhasil, dapat terwujud pada akhir Januari 2013.
Djoko Tjandra adalah terpidana dua tahun penjara atas kasus hak tagih yang diperkirakan merugikan Negara sebesar Rp 546 miliar. Selain divonis dua tahun penjara, ia juga dikenakan denda Rp 15 juta dan diwajibkan untuk mengganti seluruh kerugian Negara.
Upaya hukum di Indonesia berhasil memaksa Djoko membayar Rp 54 miliar kepada negara. Namun sayang, eksekusi penjara terhadapnya gagal dilakukan. Saat itu, 11 Juni 2009 ketika keputusan MA yang menyatakannya bersalah keluar, Djoko sudah tidak berada di Indonesia.
Diketahui, ia telah pergi menuju PNG sehari sebelum keputusan MA tersebut keluar. Tak lama maksud ia lari ke PNG akhirnya terendus. Di sana, ia menetap dan menjadi warga Negara setempat dengan nama baru, Joe Chan.