Senin 10 Dec 2012 16:28 WIB

Pakar: Petroleum Fund Tidak Diperlukan

Pengunjung beraktifitas di dalam kantor BP Migas, Jakarta, Selasa (13/11).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pengunjung beraktifitas di dalam kantor BP Migas, Jakarta, Selasa (13/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat energi dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan dana migas (petroleum fund) tidak diperlukan, kalau BUMN ditetapkan sebagai pengganti Badan Pelaksana Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi.

"Kegiatan eksplorasi yang menjadi tujuan 'petroleum fund' itu bisa langsung dilakukan BUMN," katanya saat berbicara dalam Seminar Nasional "Energy Outlook 2013" yang diselenggarakan dalam rangkaian HUT Perum LKBN ANTARA ke-75 di Jakarta, Senin.

Hadir pembicara lain dalam acara yang dibuka Dirut Perum LKBN ANTARA Saiful Hadi adalah Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha, Kepala Subdirektorat Penilaian Pengembangan Usaha Hulu Ditjen Migas Kementerian ESDM Budiyantono, dan akademisi Universitas Nasional Ismail Rumadan.

Menurut Pri Agung, pemerintah bisa meniru konsep di Malaysia, yang menyisihkan sebagian penerimaan migas untuk BUMN-nya, Petronas. Petronas memperoleh bagian penerimaan negara hingga 70 persen.

"Kalau meniru konsep Petronas, maka BUMN pengganti BP Migas idealnya bisa kelola 30 persen dari penerimaan negara," ujarnya.

Ia mengatakan, dana kelolaan tersebut akan diputar kembali oleh BUMN termasuk untuk kegiatan eksplorasi, sehingga memberikan nilai tambah yang lebih besar.

Pri Agung juga mengatakan, sesuai Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan kedaulatan negara atas sumber daya alam, maka bentuk paling sesuai sebagai pengganti BP Migas haruslah BUMN yang 100 persen dimiliki negara."Itu juga sejalan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi)," katanya.

Melalui BUMN, lanjutnya, maka penguasaan negara atas migas bisa dilakukan secara langsung.

Sementara, kalau berbentuk badan hukum milik negara (BHMN), maka penguasaan negara atas migas terdegradasi, karena penguasaannya menjadi tidak langsung.

"Kalau BHMN, maka negara kehilangan kewenangan menunjuk langsung BUMN untuk mengelola migas," ujarnya.

Selain itu, kalau berbentuk BHMN, maka hubungan usahanya adalah antara pemerintah dan perusahaan (G to B) yang tidak menguntungkan negara.

Sedangkan, dengan BUMN, maka polanya antarperusahaan (B to B), sehingga negara memiliki kontrol penuh atas kekayaan negara. (T.K007)

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement