Senin 10 Dec 2012 15:02 WIB

100 Pelajar Tewas Akibat Tawuran

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Karta Raharja Ucu
Tawuran mahasiswa, jangan sia-siakan waktu hanyak untuk hal yang tidak bermanfaat (Ilustrasi)
Foto: ANTARA
Tawuran mahasiswa, jangan sia-siakan waktu hanyak untuk hal yang tidak bermanfaat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) mengatakan dalam delapan tahun terakhir selama kurun waktu 2005-2012 di sembilan provinsi, terjadi 1.303 insiden kekerasan antarpelajar, lapor The Habibie Center.

“Korban tewas mencapai 100 siswa dan mahasiswa dan 1.286 lainnya mengalami cedera,” kata peneliti The Habibie Center, Sopar Parento di Jakarta, Senin (10/12).

Jika melihat tren insiden dan dampaknya, kata dia, kekerasan itu seakan melekat pada dunia pendidikan. Menurut Sopar, bentuk kekerasan pelajar yang dominan adalah penganiayaan dan pengroyokan yang mencapai 51 persen. Sementara bentrokan dan tawuran setidaknya 27 persen, sisanya terjadi kasus perkelahian antarpelajar maupun kelompok beda sekolah.

Berdasarkan data SNPK, lanjut dia, pada delapan tahun terakhir, sebanyak 71 persen kekerasan pelajar terjadi di wilayah perkotaan. “Sebagian besar terjadi di Jabodetabek," sebutnya.

Sisanya menyebar di ibu kota provinsi di Kupang, Pontianak, Ambon, dan Jayapura. Kebanyakan insiden kekerasan pelajar terjadi lantaran kompleksitas persoalan di wilayah perkotaan.

Sesuai analisisnya, lambatnya penanganan aparat keamanan terhadap kekerasan pelajar menjadi munculnya korban tewas. Kalau aparat kepolisian melakukan intervensi, ungkap Sopar, dari total 347 kasus bentrokan atau tawuran, sebesar 91 persen insiden itu berhasil ditangani.

Hal itu mengindikasikan kesan lambannya kepolisian turun dalam mengatasi bentrokan menjadi awal jatuhnya korban. “Kasus tawuran SMA 6 dan 70 Jakarta menjadi contoh polisi datang terlambat dan mengakibatkan  korban tewas," tukas dia.

Rekomendasi agar kasus itu tidak terulang, saran Sopar, pihak sekolah sebaiknya menciptakan masa orientasi yang bebas dari kekerasan dan kaderisasi. Bisa pula pihak sekolah memfasilitasi berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler dengan kualitas lebih baik.

Tujuannya agar siswa yang memiliki energi berlebih bisa menyalurkan bakatnya dengan tepat. “Untuk jangka panjangnya perlu memperkuat pendidikan karakter dalam kurikulum dan implementasinya,” katanya mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement