Sabtu 08 Dec 2012 13:21 WIB

Tragedi 1965 Masih Jadi Inspirasi Menarik Para Sastrawan

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR--Tragedi kemanusiaan tahun 1965-1966 masih menjadi inspirasi tema karya sastra yang menarik, kata sastrawan Putu Oka Sukanta.

"Peristiwa 1965 hingga 1966 bagaikan sumur inspirasi yang tidak pernah kering bagi sebagian besar sastrawan," katanya saat ditemui usai acara bedah buku kumpulan cerpen "Tak 'Kan Melupakanmu" di Denpasar, Sabtu (8/12).

Menurut dia, dampak peristiwa tersebut hampir menyeluruh pada aspek kehidupan manusia, termasuk timbulnya kekhawatiran dan kecemasan para korban dan pelaku. Oleh karena itu, karya sastra yang bertema dan berlatar belakang tragedi 1965, lanjut dia, selalu menjadi "best seller" di toko-toko buku besar.

"Semua orang kalau bicara tragedi itu emosinya teragitasi," kata mantan aktivis Lekra yang pernah ditahan selama 10 tahun pada 1966-1976 di Tangerang dan Salemba oleh pemerintahan Orde Baru itu manambahkan.

Hingga saat ini Sukanta telah menulis 14 karya sastra, empat di antaranya berlatar belakang tragedi 1965-1966, termasuk "Tembang Jalak Bali", kumpulan puisi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Bahkan cerpen "Luh Galuh" yang ditulis pada 1986 mendapat penghargaan dari NEMIS di Chile.

Saat ditanya, kenapa para sastrawan tidak menulis buku sejarah tentang peristiwa kemanusiaan yang merenggut ratusan ribu jiwa rakyat tak berdosa itu, dia menjawab sudah berulang kali diupayakan. Pasalnya hingga kini tidak ada kemauan baik dari penguasa untuk menjadi salah satu buku ajar siswa hingga saat ini.

"Bukankah Asvi Warman Adam pernah menulis buku sejarah G30S tanpa PKI yang kemudian dibakar oleh kejaksaan? Bahkan pemerintah telah memerintahkan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) melakukan penelitian sejarah tentang peristiwa 1965, tapi sampai sekarang mana hasilnya?" katanya.

Oleh karena itu, menurut Sukanta, sastrawan yang peduli terhadap pelurusan sejarah 1965 lebih banyak melakukan gerakan kultural dengan membuat karya sastra, baik berupa novel, cerpen, maupun puisi.

"Para sastrawan melakukan gerakan kultural karena memang mereka tidak memiliki kekuatan politik. Kami yakin lambat laun persoalan ini akan jernih dengan sendirinya," kata pria kelahiran Singaraja, Kabupaten Buleleng, 73 tahun silam itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement