Jumat 07 Dec 2012 14:34 WIB

Kasus Aceng, Puncak Bobroknya Pemda

Rep: Ira Sasmita/ Red: Dewi Mardiani
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek
Foto: depdagri.go.id
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan kasus yang dialami Bupati Garut Aceng HM Fikri merupakan puncak dari gunung es. Atas kasus-kasus lain yang juga dialami pejabat pemerintah daerah yang merusak kinerja mereka sebagai pelaksana kebijakan yang berhubungan langsung dengan rakyat di seluruh Indonesia.

"Ini bukan lagi sekedar persoalan moralitas, tetapi sensitivitas pejabat daerah. Masalah rasa merasa, karena kasus memalukan lainnya juga terjadi di kalangan pejabat publik," kata Robert dalam diskusi bertajuk 'Bila Pejabat Publik Melanggar Hukum dan Etika' di DPD, Jumat (7/12).

Kasus memalukan yang dimaksud Robert adalah pelanggaran hukum yang terbukti dilakukan pejabat daerah seperti kasus narkoba, korupsi, dan tindakan tunasusila lainnya.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, mengakui penyimpangan dan pelanggaran hukum oleh pejabat daerah memang banyak.

Sejak tahun 2004 hingga sekarang, Doni, sapaan akrabnya mengatakan setidaknya 281 kepala daerah tersandung masalah hukum. Baik yang berstatus sebagai saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Ironisnya, 70 persen diantaranya terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian, sebanyak 2.545 pejabat di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga mengalami persoalan hukum.

"Dua tahun terakhir ini saja, sudah 1.194 pegawai negeri sipil (PNS) yang tersandung masalah hukum. Ini memang ada yang salah," ujar Doni. Menurut dia, kenyataan itu menunjukkan ada korelasi signifikan antara mahalnya biaya pemilihan kepala daerah dengan persoalan yang muncul di daerah tersebut. Biaya Pilkada yang mahal, lanjutnya, membuat politik transaksional semakin tidak terhindari.

Pakar kebijakan publik dari Lembaga Administrasi Negara, Muhammad Nur Sadiq, mengatakan, dari kasus Bupati Aceng, ada dua aspek yang harus diingat kembali oleh pejabat publik. Pertama, pendefinisian aspek kepemimpinan. Kemudian, aspek etika dan moralitas pemimpin.

Masyarakat harus melihat dan menilai lagi etika dan moralitas serta rekam jejak seorang pejabat. Meskipun prestasi dan visi kepemimpinannya bagus, namun akan menjadi masalah ketika bertubrukan dengan masalah etika dan moral.

Sadiq menambahkan, etika juga yang akan mengukur kualifikasi pejabat publik. Etika akan menunjukkan prilaku dan kedewasaan pejabat publik dalam menyelesaikan persoalan dan menanggapi dinamika politik di lingkungannya. "Prilaku itu yang bisa berubah. Iman bisa naik turun, mungkin waktu dipilih baik, tapi kalau tidak di-maintain akan goyang juga," ucap Sadiq.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement