REPUBLIKA.CO.ID, Oleh A Syalaby Ichsan (wartawan Republika)
Matahari masih terik. Pagi itu, sinarnya deras mengguyur Sungai Ciliwung. Tampak benar sampah-sampah di pinggir sungai ikut timbul seiring debit air yang mengering. Di sela cokelatnya sungai, tampak seorang pria sedang sibuk memulai hari.
Di atas perahu gabusnya, Sunandar, asik menjaring sampah. Beragam barang terbawa arus sungai Ciliwung digaet dengan jaring dan galah. Plastik berbentuk botol, gelas, piring tidak luput dari tangkapan. Begitu pun dengan sampah berbentuk kardus dan gabus. "Kadang ketemu bangkai orang,"ujar Sunandar. Pria bertato itu merujuk pada peristiwa tiga bulan lalu ketika sesosok mayat hanyut yang tertangkap jaring Sunandar.
Namun, musim kering seperti ini volume sampah yang terbawa arus berkurang. Sunandar dan isterinya, Titin harus mengurut dada. Pendapatan dari menjaring sampah harus berkurang. Lain jika musim hujan tiba. Sunandar bisa menangguk sampah lebih banyak. Beruntung Titin masih bekerja sebagai penjaga kantin.
Sampah-sampah tangkapan Sunandar datang dari limbah rumah tangga yang langsung dibuang warga. Kebanyakan, berasal dari tempat pembuangan sampah yang berada di bantaran kali. Sampah itu terbawa sungai yang debitnya bertambah pada musim penghujan.
Salah satu penyumbang sampah di Sungai Ciliwung adalah TPS di RW 05, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. TPS yang berada di belakang gedung Badan Intelijen Negara (BIN), Kalibata itu tampak kumuh. Bak sampah berukuran satu kali dua meter terlalu kecil untuk menampung sampah warga. Dampaknya, sampah tumpah ruah ke sisi jalan.
TPS itu menjadi atap gundukan sampah yang dasarnya sampai ke bantaran kali. Tingginya, berkisar sepuluh kali tinggi orang dewasa. Ketua RW 05, Azis, sudah 10 tahun mengelola TPS itu. Setiap hari, ada enam gerobak yang memenuhi TPS tersebut dengan sampah Terkadang, ada dua atau tiga gerobak yang membuang sampah dua kali. Sampah-sampah itu diambil dari seribuan rumah dari 10 RT di RW 05.
Padahal, setiap Senin ada mobil Suku Dinas Kebersihan yang mengangkut sampah dari TPS itu.Menurutnya, kedatangan truk sekali sepekan tidak cukup untuk mengangkut semua sampah warga. "Truk seharusnya datang dua kali sepekan,"ungkap Azis. Cuma, apa daya jika truk pun terbatas dengan kuotanya.
Mulai jam enam pagi, truk itu masuk ke TPS dan mengangkut sampah ke TPS ke Bantar Gebang. Biasanya, ada petugas sampah yang membantu menaikkan sampah ke truk. Supaya truk tetap 'langgeng' mengantarkan sampah, Azis pun memberikan uang bensin kepada supir. Setiap pengambilan, ujarnya, supir bakal mendapat uang Rp 250 ribu. Azis mengaku uang itu diberikan sukarela. Sumbernya berasal dari warga yang sampahnya diambil dari gerobak RW.
Meski demikian, warga RW 05 wajib bersyukur. Pasalnya, kebanyakan TPS yang berada di bantaran kali tidak diangkut oleh mobil Dinas Kebersihan. Kepala Seksi Pengendalian Sampah dan Air Limbah Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Kurlie mengaku bukan tidak mau menangani sampah di bantaran kali. Menurutnya, gundukan sampah yang berada di pinggiran kali seharusnya menjadi tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Air.
Selain itu, kebanyakan TPS liar berada di lokasi yang sulit dan tidak bisa diakses jalan. Sementara, tutur Kurlie, armada mobil Dinas Kebersihan terbatas. "Kita fokus yang ada di darat dulu,"ujarnya. Selain armada truk, dinas kebersihan memiliki sekitar 500 gerobak motor sampah yang bisa mengakses jalan-jalan kecil. Gerobak ini melayani 267 kelurahan yang ada di enam wilayah DKI Jakarta.
Kurlie menyebutkan gerobak ini dapat mengakses hanya beberapa TPS liar di bantaran kali. Salah satunya adalah TPS di Kelurahan Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur. Jalan beraspal di pinggir kali Ciliwung memang menjadikan kendaraan leluasa untuk masuk TPS. Inisiatif warga setempat yang meminta gerobak motor pun bakal menjadi perhatian. "Untuk di bantaran kali, kalau warga ajukan kita kasih," jelasnya.
Hanya, masih banyak TPS lain yang tidak berhasil diakses oleh gerobak motor. Selain akibat akses jalan, prosedur menjadi kendala. Suku Dinas Kebersihan setempat hanya melayani TPS resmi yang disebut dengan Lokasi Pembuangan Sampah. Di Jakarta Timur, terdapat 208 LPS dengan berbagai jenis. Dipo, bak beton, LPS terbuka, hingga pool gerobak. Tidak ada TPS liar yang tercatat di Sudin Kebersihan sebagai LPS. Sehingga, Sudin setempat hanya bersikap pasif untuk sampah-sampah di TPS liar.
Padahal, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta mencatat setidaknya, ada 20 kecamatan dan 76 kelurahan yang dilintasi Ciliwung. Di sana, bertebaran 91 TPS liar dari selatan, timur, pusat, hingga utara.
Bila digabungkan dengan gundukan sampah, terdapat 113 titik sampah di sepanjang Sungai Ciliwung yang masuk daerah administratif DKI Jakarta. Di Jakarta Selatan, terdapat 58 TPS liar dan gundukan sampah. TPS dan gundukan itu di bantaran kali itu tersebar di kelurahan Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pejaten Timur, Rawa Jati, hingga Pengadegan.
Sementara di Jakarta Timur, terdapat 50 TPS yang tersebar dari Kelurahan Balekambang, Cawang, hingga Kampung Melayu. TPS liar di bantaran kali lebih sedikit ditemukan di pusat Jakarta dan hilir Ciliwung. Di Jakarta Pusat, hanya keluarahan Mangga Besar yang memiliki TPS liar, yakni di Kelurahan Pasar Baru. Untuk TPS liar Jakarta Utara dan Jakarta Barat, terdapat lima TPS liar yang tersebar di Mangga Besar, Ancol, Penjaringan, hingga Pluit.
Upaya penutupan terhadap TPS-TPS tersebut bukan tidak pernah dilakukan. Kepala Sub-Bidang Edukasi Lingkungan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, Rahmat Bayangkara, menegaskan sudah ada 15 TPS yang ditutup sejak 2009. Penutupan dilakukan dengan memindahkan TPS dari bantaran kali ke LPS resmi atau membuat TPS baru di lahan kosong milik negara.
Lemahnya kontrol pemerintah terhadap ratusan TPS liar di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dinilai akibat sulitnya akses jalan ke TPS. Konsultan lingkungan, Fauziah Hernarawati, pun mengungkapkan sebaiknya satuan kerja terkait mencari alternatif dalam mengontrol dan mengangkut sampah.
Salah satunya, tutur Fauziah, dengan mengadakan angkutan air untuk mengangkut dan mengontrol pembuangan sampah di bantaran kali. "Pemda bisa membuat patroli dengan angkutan air karena di darat memang tidak maksimal,"ujar Fauziah. Menurutnya, cara tersebut memang belum pernah dilakukan oleh pemda.
Dengan patroli air, ujarnya, maka petugas kebersihan dapat mengangkut sampah tersebut hingga ke pintu air terdekat. Kemudian, dibawa dengan armada Dinas Kebersihan ke TPS Bantar Gebang. Petugas pun dapat mengawasi warga yang hendak membuang sampah ke kali dan bantaran.
Jika masih ingin mengangkut lewat jalur darat, Fauziah mengungkapkan pemda harus membuat jalan inspeksi. Sehingga, mobil dan motor dinas kebersihan bisa menjangkau TPS tersebut. "Karena selama ini memang TPS liar itu susah dijangkau,"jelasnya.
Sebenarnya, tutur Fauziah, permasalahan dasar sampah di bantaran kali adalah akibat banyaknya permukiman yang berdiri di bantaran kali. Padahal, berdasarkan PP No. 38 tahun 2011 tentang Sungai, sudah menegaskan bahwa sempadan sungai berjarak sepuluh meter hingga 30 meter (tergantung kedalaman) dari sungai di kawasan perkotaan. Oleh karena itu, Fauziah menjelaskan penting bagi Pemprov untuk segera merelokasi permukiman tersebut.
Sementara, rumah-rumah yang sudah berada pada jarak aman dari sempadan, sebaiknya harus menghadap ke kali. Bukan membelakangi kali. Sehingga, limbah rumah tangga yang umumnya terletak di dapur, tidak begitu saja dibuang ke kali.
Selain itu, tuturnya, warga pun bakal malu jika membuang sampah dari halaman rumah. Jika sudah direlokasi dan dimodifikasi, Fauziah mengungkapkan semua badan kali bisa diturab. Sehingga, tidak rentan terhadap terjadinya longsor. Jika lokasinya tidak memungkinkan, tutur Fauziah, maka lahan tersebut bisa ditanami oleh pohon yang dapat menahan tanah.
Menurutnya, kondisi TPS liar di bantaran kali saat ini sudah memprihatinkan. Jika musim penghujan tiba, maka sampah bakal ikut tergerus sungai seiring volume debit air yang meningkat. Sampah kemudian terbawa sampai ke pintu air kemudian menyumbat saluran dan menyebabkan banjir. Sementara, badan sungai pun kian merapat akibat gundukan sampah.
Tidak hanya itu, Fauziah menyebutkan TPS-TPS tersebut tidak dikelola. Dampaknya, TPS rentan menimbulkan penyakit. Warga di sekitar yang tinggal di sekitar TPS yang bakal menjadi korban.
TPS ini menyumbang kontribusi terhadap penyempitan badan Sungai Ciliwung. Sampahnya membuat kali menjadi dangkal. Laporan Bank Dunia, sejak 2002, sungai yang mengalir ke empat kotamadya di Jakarta tersebut hanya mampu mengangkut air 100 m3/second.
Padahal, sejak 1978 lalu, ciliwung dan sungai-sungai lainnya dirancang mampu menampung debit air hingga 2.450 m3. Kapasitas drainase terus berkurang. Terakhir, sistem air ibu kota cuma mampu menampung 1.260 m3. Ciliwung tua itu kini tampak ringkih dengan sampahnya yang bersesakan.