REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR, Dewi Aryani mengatakan, titik penting dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU BP Migas bukan pada masalah pembubaran lembaganya. Melainkan bagaimana pemerintah secara serius membenahi tata kelola energi, terutama sektor migas.
Ini merujuk kepada pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Apalagi juga karena memang putusan MK sudah final sehingga harus dihormati. ''Rendahnya angka pencapaian lifting tidak semata-mata karena kesalahan BP Migas. Tapi lebih kepada kurang cermatnya pemerintah melihat secara bijak bahwa ketersediaan energi fosil memang dari tahun ke tahun akan berkurang,'' papar Dewi melalui pesan singkat, Rabu (14/11)
Menurutnya, pengembangan sumber daya energi baru terbarukan justru terbengkalai. Ini yang menjadi titik masalahnya. Sedangkan mengenai BP migas, memang perannya harus diatur secara lebih baik. Sehingga sistem dan mekanisme pengelolaan migas tetap berdasar pada kepentingan nasional.
Ia menilai, sudah seharusnya ada pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR mengenai bagaimana kelanjutan setelah BP Migas bubar. Karena menurut pasal 20 ayat 1 UUD 1945, tiap-tiap undang-undang itu menghendaki persetujuan DPR.
Karena UU migas adalah produk legislator maka sebaiknya seluruh aspek komersial, keberlangsungan produksi minyak, semua implikasi termasuk proses transisi fungsi-fungsi BP Migas dibahas bersama dengan DPR.
''Apalagi saat ini Komisi VII DPR juga sedang membahas amandemen UU Migas. Memperbaiki pasal-pasal tertentu untuk dimaksimalkan dan lebih mendorong kepada pemenuhan kepentingan nasional,'' papar Dewi.