REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengawalan yang dilakukan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) terhadap tenaga kerja wanita (TKW) yang diperkosa Polisi Diraja Malaysia dinilai sudah tepat.
"Mengingat kejadian ini terjadi di Malaysia, maka secara hukum internasional, otoritas Indonesia tidak dapat melakukan proses hukum. Pemerintah Indonesia harus menghormati kedaulatan Malaysia, sehingga pengawalan oleh pemerintah Indonesia sudah benar," kata Hikmahanto Juwana melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (12/11).
Guru besar Universitas Indonesia, Jakarta itu mengatakan pengawalan perlu dilakukan mengingat korban adalah warga negara Indonesia (WNI). Pemerintah perlu memastikan agar terhadap pelaku dilakukan proses hukum.
Disamping itu, kata dia, pengawalan dilakukan agar kemarahan publik di Indonesia dapat tersalurkan. Bila perlu, pemerintah berinisiatif mengundang pemerintah Malaysia agar kasus seperti itu tidak terulang.
"Masalah utama yang perlu dibahas adalah bagaimana warga negara Malaysia, termasuk petugas dan pejabatnya, tidak melakukan perendahan martabat terhadap WNI saat mereka berada di Malaysia," katanya.
Menurut dia, perendahan martabat oleh warga setempat terjadi karena masih banyak WNI yang melakukan pekerjaan kasar dan pembantu rumah tangga. Masalah itu harus segera ditangani untuk mencegah kemarahan publik Indonesia yang berpotensi meningkat menjadi konflik antar kedua negara. "Bila tidak tertangani, maka cita-cita untuk membentuk masyarakat ASEAN akan sirna," ujarnya.
Tiga polisi Malaysia telah memperkosa seorang TKW, sebut saja namanya Miranti, asal Batang, Jawa Tengah, di Bukit Mertajam, Pulau Penang, Malaysia pada Jumat (9/11) pagi.
Tiga Polisi Diraja Malaysia yang telah memperkosa Miranti adalah Nik Sin Mat Lazin (33) yang telah bertugas di kepolisian Malaysia 13 tahun, Syahiran Ramli (21) dengan masa pengabdian dua tahun satu bulan, dan Remy Anak Dana (25) yang melalui masa tugasnya satu tahun dua bulan.