Rabu 07 Nov 2012 07:36 WIB

Krisis Kepemimpinan Bisa Timbulkan Konflik Komunal

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Dewi Mardiani
Ribuan massa gabungan dari Kecamatan Kalianda membawa senjata tajam saat menyerang Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Ahad (28/10) lalu.
Foto: Antara/Kristian Ali
Ribuan massa gabungan dari Kecamatan Kalianda membawa senjata tajam saat menyerang Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Ahad (28/10) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Kehadiran figur pemimpin yang tidak mengakar kuat ke bawah, menjadi bagian dari penyebab timbulnya konflik komunal. Saat ini, konflik terjadi di berbagai tempat di Indonesia, sebagai dampak bahwa bangsa ini sudah krisis kepemimpinan yang dapat mengayomi rakyatnya seperti masa lalu.

"Selalu saja terjadi konflik horizontal yang mengarah komunal. Salah satu faktor penentu bahwa bangsa ini sudah kehilangan figur pemimpin yang kuat ke bawah, dan menjadi teladan bagi rakyatnya," kata Sosiolog Universitas Lampung (Unila), Dr Hartoyo, di Bandar Lampung, Rabu (7/11).

Ia menyebutkan figur pemimpin tersebut sekarang sudah bertambah menjadi empat bagian. Kalau dahulu, ujar dia, ada tiga tipenya yakni figur pemimpin rasional, kemudian tradisional, dan kharismatikal. "Sekarang era reformasi ada tambahan  yakni figur pemimpin yang transaksional," ujarnya.

Figur pemimpin transaksional ini, menurut dia, merusak tatanan kehidupan yang selama ini mengakar di masyarakat. Semua aktivitas sosial mengarah kepada kepentingan fragmatisme demi meraih kekuasaan egosentris. "Pola figur transaksional ini, dengan pengerahan massa yang bertendensi habis berapa balik berapa," jelasnya.

Dengan pola transaksional ini, ia mengatakan figur pemimpin tersebut tidak akan bertahan lama dalam panggung perpolitikan, karena bangunan politik kekuasaannya bermuara pada kepentingan kekuasaan semata bukan kepentingan hajat hidup rakyatnya.

Mengenai konflik horizontal komunal yang sering terjadi di Indonesia, termasuk di Lampung terakhir ini, ia mengatakan, solusinya harus ada dialog berbagai pemegang kepentingan, baik nasional maupun lokal. Selain itu, perlu dibangun lagi restrukturisasi pemikiran dan kebijakan rekonstruksi civil society, dan hal ini tidak bisa praktis.

Menurut dia, konflik dalam masyarakat terjadi jika muncul ketimpangan dominasi politik dan ekonomi dalam masyarakat itu sendiri. Hal itu sebagai dampak kebijakan pemimpin yang transaksional membuat ketidakadilan sosial. Di samping itu, pertarungan politik kekuasan yang mendominasi setidaknya membuat tatanan kehidupan di bawah ikut berpengaruh, yang akhirnya menimbulkan segmentasi sosial yang fragmatisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement