Selasa 30 Oct 2012 23:20 WIB

'Konflik Lampung Bisa Diselesaikan dengan Sosial Budaya'

Ribuan massa gabungan dari Kecamatan Kalianda membawa senjata tajam saat menyerang Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Ahad (28/10) lalu.
Foto: Antara/Kristian Ali
Ribuan massa gabungan dari Kecamatan Kalianda membawa senjata tajam saat menyerang Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Ahad (28/10) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Salah satu budayawan Lampung, Ir H Anshori Djausal MT, mengingatkan bahwa konflik antarwarga berbeda asal usul di Lampung seharusnya dapat diatasi dengan solusi sosial dan budaya.

"Seharusnya ada solusi sosial budaya, karena tetap ada nilai-nilai budaya yang universal yang dapat mempertemukan dua masyarakat yang berbeda di sini," kata Anshori, di Bandarlampung, Selasa (30/10), menanggapi formula yang paling tepat mengatasi bentrokan antarwarga di Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung Selatan.

Bentrok warga antarkampung masyarakat pendatang dengan warga Lampung di Desa Balinuraga/Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Sabtu--Minggu (28-29/10), mengakibatkan sedikitnya sembilan warga tewas, beberapa lainnya terluka, belasan rumah warga desa ini dibakar dan dirusak massa. Bentrokan itu berdampak ribuan warga itu harus diungsikan ke tempat yang aman di Bandarlampung, Selasa (30/10).

Beberapa kali sebelumnya, bentrokan antarwarga berbeda asal-usul itu terjadi di Lampung Selatan, serta di beberapa tempat lainnya di Provinsi Lampung, umumnya dengan faktor pemicu masalah yang sebenarnya dinilai sepele.

Bentrokan warga Desa Balinuraga/Sidoreno, Waypanji, dengan warga dari beberapa desa di Kalianda, Lampung Selatan itu, diduga dipicu informasi adanya kasus pelecehan seksual terhadap dua gadis warga Desa Agom, Kalianda, saat bersepeda motor melewati desa itu yang dilakukan beberapa pemuda di sana.

Namun belakangan dinyatakan bahwa para pemuda itu justru bermaksud menolong kedua gadis yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan terjatuh dari sepeda motornya, kemudian justru tersebar informasi bahwa mereka melakukan pelecehan terhadap kedua gadis itu.

Kabar itulah yang memicu warga Desa Agom dan beberapa desa sekitarnya menjadi marah, sehingga mendatangi dan menyerang warga Desa Balinuraga/Sidoreno, Waypanji, sehingga terjadi bentrokan berdarah.

Menurut Anshori, di Lampung sebenarnya sudah banyak contoh koeksistensi masyarakat yang berbeda, yang sudah berjalan ratusan tahun.

Mereka dapat hidup berdampingan secara damai dan saling mengisi satu sama lain. "Tetapi, memang memerlukan kepemimpinan sosial yang kuat untuk menjamin terbangun konsensus sosial yang kondusif," ujar alumni ITB Bandung itu pula.

Menanggapi kecenderungan masyarakat kurang percaya dengan pemimpin informal, tokoh adat, pemuka agama maupun pemimpin formal/pejabat, sehingga sering mengambil keputusan sendiri mengikut arus massa, menurut dia, perlu upaya yang serius dan harus dilakukan melalui dialog antarbudaya untuk menembus kebuntuan komunikasi itu.

"Tapi dalam situasi yang kacau seperti saat ini (di Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Red) tentunya tidak sesederhana itu," ujar dia pula.

Upaya komunikasi harus menggunakan tata cara yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, kata Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Wahana Raharja ini pula.

Daerah Lampung dikenal sebagai "Indonesia Mini", mengingat heterogenitas asal usul warga yang kini berdiam menjadi warga Lampung, berbaur dengan masyarakat Lampung di sini.

Kondisi tersebut, menurut Anshori Djausal, seharusnya dapat terus dipertahankan dan dijaga oleh semua pihak tanpa kecuali.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement