REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sistem alih daya (outsourching) membuat pekerja tidak memiliki masa depan pekerjaan.
Pasalnya, para buruh hanya digantungkan pada ketidakpastian pekerjaan yang sewaktu-waktu dapat hilang begitu saja.
"Mereka kan tidak punya jaminan pekerjaan, ini yang membuat masa depan mereka menjadi tidak pasti,” ujar Pengamat Ketenagakerjaan, Prijono, Selasa (30/10).
Menurutnya, sistem kerja outsourching harus diawasi dengan baik oleh pemerintah. Dikhawatirkan ada pengusaha 'nakal' yang memberlakukan outsourching di luar lima pekerjaan yang ditetapkan pemerintah. "Kalau ada temuan ini, pemerintah harus menindak tegas," ucapnya.
Tak hanya itu, outsourching dianggap merugikan kaum buruh dan hanya menguntungkan kaum pemodal saja. Untuk itu outsourching harus segera dihapus. "Tenaga kerja outsourcing akan kehilangan seluruh benefit agar bisa dapat bekerja sebagai tenaga kerja tetap," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Said Iqbal, mengatakan hasil kesepahaman antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan MPBI tentang pelarangan penggunaan outsourching akan dikeluarkan paling lambat Jumat (2/11).
Prinsipnya, kata Iqbal, pada proses produksi langsung atau kegiatan pokok dilarang menggunakan pekerja alih daya. "Setiap buruh yang bekerja di sebuah perusahaan maka majikannya adalah pemilik perusahaan bukan di luar perusahaan," ujarnya.
Pekerja alih daya hanya boleh diperuntukkan untuk lima jenis pekerjaan saja, yakni katering, petugas kebersihan, satpam, sopir, dan jasa penunjang pertambangan atau perminyakan. "Di luar lima jenis tersebut tidak boleh," tegas Iqbal.