Kamis 18 Oct 2012 07:00 WIB

Whistleblowing System Sebagai Pencegah Korupsi

Whistle blower (ilustrasi)
Foto: minimediaguy.org
Whistle blower (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) terus menggencarkan gerakan anti-korupsi di lingkungan internalnya. Berbagai langkah dan terobosan dilakukan demi mewujudkan penyelenggaraan pajak yang lebih akuntabel dan profesional. Namun, semangat untuk memberantas korupsi kembali ternoda. Publik kembali dikejutkan dengan penangkapan oknum pegawai pajak berinisial AS dan TH.  

 

Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaludin Rahmat  menilai penangkapan tersebut sebagai peringatan bagi Ditjen Pajak. “Penangkapan itu merupakan warning bahwa di dalam perpajakan masih ada oknum yang menggunakan kewenangannnya untuk kemakmuran pribadi,” kata dia.

 

Terbongkarnya kasus korupsi ini tak terlepas dari peran whistleblowing system. Dengan whistleblowing system, pelaku atau calon pelaku akan merasa terancam dengan kehadiran orang lain yang mengetahui atau ingin mengetahui kekayaannya. Ancaman hukuman yang berat juga diharapkan dapat memaksa calon pelaku untuk mengurungkan niat melakukan pelanggaran.

 

Jalaludin  mengapresiasi  upaya pembongkaran kasus korupsi melalui whistleblowing system.  ”Whistleblowing system sudah bagus untuk mencegah peluang terjadinya korupsi, “ ungkapnya. Terlepas dari bagusnya sistem tersebut, dia kembali mengingatkan bahwa untuk membangun whistleblowing system tidak bisa hanya sebentar.

 

Dia menambahkan pencegahan korupsi tidak hanya dengan whistleblowing system, tapi juga membutuhkan peran  masyarakat. ”Ya harus ada peran masyarakat untuk mencegah korupsi. Contohnya dengan membentuk special group mungkin bisa dari partai politik (parpol) . Nantinya, parpol akan menekan dan mengawasi pegawai-pegawai pajak agar berlaku jujur,” ujarnya.

 

Bukan hanya itu, menurutnya, gerakan anti korupsi juga harus diterapkan ke seluruh lapisan pegawai pajak. “Gerakan pemberantasan korupsi masih pilih-pilih. Karena itu, Ditjen Pajak harus berani menjangkau ke level yang lebih tinggi” lanjut dia.  Jika, upaya tersebut telah dilakukan, tentunya harus dibarengi dengan tindakan tegas dan  peluang untuk korupsi harus ditutup.

Ditjen Pajak memang tidak main-main dalam gerakan reformasi birokrasi yang digalakkan. Langkah  ini sudah dimulai sejak 2002 melalui penerapan hukuman disiplin kepada pegawai yang menyalahgunakan wewenang.  Lima tahun terakhir, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin terus meningkat signifikan.

 

Pada 2007, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin sebanyak 196 orang. Angka itu berlipat ganda pada tahun 2008 menjadi 406 orang. Pada 2009 dan 2010 berturut-turut Ditjen Pajak memberikan sanksi disiplin kepada 516 dan  657 pegawai. Sedangkan sepanjang  2012 ini, sudah ada 39 pegawai yang dijatuhkan sanksi.

 

Reformasi birokrasi ini juga dilakukan terhadap 32 ribu pegawai yang tersebar pada 571 kantor di seluruh Indonesia. Dengan adanya pembenahan sistem ini maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Langkah ini pun  mendapat sambutan positif  oleh Jalaludin “Saya mengapresiasi kalau sudah ada reformasi perpajakan. Namun, Ditjen Pajak seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan pengumpulan dana tapi juga pengelolaan hasil pajak,” kata tokoh agama lulusan Australian National University.

 

Dia menambahkan, reformasi perpajakan juga harus dibarengi dengan kepercayaan dan kesadaran dari masyarakat untuk membayar pajak. “Membayar pajak adalah kewajiban bagi setiap warga negara,'' kata dia.

 

Jalaludin juga mengaku puas dengan pelayanan pajak saat ini dan sudah ada upaya dari Ditjen Pajak untuk lebih proaktif menarik pajak. “Pelayanan sudah bagus. Kita malah yang dikejar-kejar untuk membayar pajak. Pelayanan pajak juga sudah ada di mal-mal dan restoran” kata dia. (adv)

sumber : Ditjen Pajak
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement