REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara (USU), Profesor Dr Syafruddin Kalo, menegaskan pemilik PT Hardaya Inti Plantation(HIP) Hartati Murdaya sudah seharusnya dibebaskan dari semua tuntutan hukum.
Sebab, kalaupun ada pemberian uang kepada
Bupati Buol Amran Batalipu, hal itu dilakukan dalam keadaan darurat. "Hartati sebagai pengusaha dalam keadaan tidak berdaya menolak permintaan uang oleh Bupati. Karena jika dia menolak, itu dapat mengancam kelangsungan usahanya," kata Prof Syafruddin Kalo kepada pers di Jakarta, Ahad (14/10).
Pernyataan Syafruddin Kalo itu disampaikan kepada wartawan menanggapi kasus Buol yang melibatkan pengusaha Hartati Murdaya.
Menurut Syafruddin, doktrin hukum pidana yang berlaku di Indonesia mengajarkan bahwa situasi darurat dapat membebaskan seseorang dari kewajiban mempertanggungjawabkan suatu perbuatan melawan hukum.
"Jika terbukti ada kondisi darurat saat pemberian uang, maka Hartati Murdaya cs harus dibebaskan dari segala tuduhan. Kasus Buol memperlihatkan bahwa seorang pengusaha tidak berdaya menolak permintaan uang oleh seorang Bupati yang punya kekuasaan legal. Pengusaha tak punya pilihan, demi menjaga kelangsungan usahanya," jelasnya.
Ia menilai bahwa kasus pemberian uang dari PT HIP kepada Bupati Amran Batalipu sudah memenuhi unsur kondisi darurat. Sebab, saat itu ada pertentangan antara kepentingan untuk mematuhi hukum dengan kepentingan untuk menjaga kelangsungan usaha kelapa sawit yang saat itu diduduki dan diblokade oleh para preman.
Untuk kondisi seperti itu, sambung Syafruddin, maka si pengusaha tidak boleh dikenakan hukuman. Unsur perbuatan melawan hukumnya hilang karena adanya kondisi darurat. Lagi pula, dalam persidangan, keterangan saksi ahli mengungkapkan seseorang cenderung mengakomodasi permintaan demi kembali ke zona aman.
Syafruddin Kalo adalah salah satu saksi ahli dalam persidangan kasus Buol di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis lalu.
Korban
Di depan majelis hakim, Syafruddin mengatakan PT HIP berada dalam keadaan tertekan ketika Bupati Buol Amran Batalipu meminta sejumlah uang ke perusahaan tersebut.Karena pemberian uang dalam situasi tertekan maka Hartati Murdaya dan jajarannya dalam posisi sebagai korban pemerasan.
"Kalau orang itu dimintai, maka bisa disebut korban," kata Syafrudin di pengadilan Tipikor Kamis (11/10).
Lebih lanjuta dikatakan, pemberian uang kepada seorang bupati itu bisa dimungkinkan sebagai pemerasan, karena ada dua sebab yakni adanya tekanan fisik dan adanya tekanan psikologis.
Menurut pakar hukum pidana itu , majelis hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan. Hakim tidak boleh memberikan vonis tanpa mempertimbangkan fakta-fakta
itu.
"Tidak boleh hakim memutus perkara karena pertimbangan sejarah peradilan. Di Tipikor Jakarta memang belum ada sejarahnya terdakwa bebas. Tapi itu juga tidak benar, kalau memang disidang di tipikor berarti harus vonis salah, itu justru bermasalah. Ingat, adagium mengatakan lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang tidak bersalah," jelasnya.
Hartati Murdaya bersama dua anak buahnya di PT HIP telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemberian uang kepada Bupati Buol, Sulawesi Tengah Amran Batalipu. Dalam berbagai kesempatan, Hartati menegaskan bahwa dirinya tidak tahu-menahu soal pemberian dana kepada Amran Batalipu.
Namun pemberian uang itu telah diakui oleh salah seorang anak buah Hartati, Totok Lestiyo, dalam persidangan sebelumnya. Totok mengaku bahwa pemberian uang itu atas inisiatif dirinya dan tidak atas perintah Hartati Murdaya.
Kasus Buol ini bermula dari adanya permintaan sejumlah dana oleh Bupati Amran Batalipu kepada perusahaan kelapa sawit PT HIP milik Hartati Murdaya.
Dalam kasus ini, sebenarnya PT HIP tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari Bupati Buol karena permohonan rekomendasi HGU nya juga tidak pernah disetujui oleh Bupati Buol.
Hartati Murdaya telah menegaskan bahwa dirinya tidak setuju memberikan sejumlah dana kepada Amran Batalipu. Namun sebagai seorang pengusaha yang berinvestasi di Buol , maka tentu dirinya juga tidak bisa secara mentah-mentah melakukan penolakan.
Setiap kali Amran Batalipu menghubungi dirinya, maka ia selalu mengelak secara halus. Namun dalam keadaan dirinya yang terus mengelak itulah secara diam-diam Totok Lestyo mengambil uang perusahaan senilai Rp 3 miliar dan lalu memberikannya ke Amran Batalipu tanpa sepengetahuan Hartati Murdaya.
sumber : Antara