Sabtu 13 Oct 2012 14:21 WIB

Sultan: Tak Bisa Menjabat Gubernur DIY Selamanya

Rep: neni ridarineni/ Red: Taufik Rachman
  Gubernur DIY, Sri Sultan HB X (tengah) bersama Wagub DIY, Paku Alam IX (kanan) mengucapkan sumpah jabatan pada pelantikan gubernur dan wakilnya di Gedung Agung Yogyakarta, Rabu (10/10). (Regina Safri/Antara)
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X (tengah) bersama Wagub DIY, Paku Alam IX (kanan) mengucapkan sumpah jabatan pada pelantikan gubernur dan wakilnya di Gedung Agung Yogyakarta, Rabu (10/10). (Regina Safri/Antara)

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA - Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan proses pelantikan yang terjadi Rabu (10/10) lalu oleh Presiden SBY merupakan teknis demokratisasi yang akan terus terjadi di DIY setiap lima tahun.

''Demokratisasi merupakan bagian dari upaya agar masyarakat Yogykakarta tetap bisa merasakan Keistimewaan DIY,''kata Sultan dalam sambutan saat syukuran pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur bersama warga masyarakat Yogyakarta, di Gedung Pagelaran Keraton Yogyakarta, Jum'at malam (13/10).

Demokratisasi di DIY dengan disahkannya UU Keistimewaan DIY, kata  HB X,  juga memberikan ruang terjaganya pemerintahan yang akuntabel di DIY di seluruh lapisan.  Lebih lanjut dia mengatakan setiap orang ketika bertambah usia pasti akan mengalami kemunduruan secara fisik. Demikian pula halnya dirinya.

Karena itu Sultan mengaku tidak akan bisa menjadi Gubernur DIY untuk selamanya. '' Jika hal tersebut dipaksakan maka masyarakat Yogyakarta akan mengalami kerugian karena tidak akan memiliki pemimpin yang dapat memberikan pengayoman yang baik. Sementara masyarakat butuh pemimpin yang bisa memberikan pemikiran yang baik,''kata Sultan menegaskan.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Ari Sujito menilai  pernyataan Sultan menterjemahkan  isi dari UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY bahwa persyaratan  menjadi gubernur   harus mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah.

Yang lebih penting justru  bagaimana mekanisme Keraton dan Puro Pakualaman dalam membuat perangkat yang berlaku  secara internal (paugeran) sehingga bisa  beradaptasi sesuai dengan UU Keistimewaan. Publik juga harus tahu pokok-pokok paugeran yang dibuat oleh  Keraton dan Puro Pakualaman sehingga masyarakat bisa ikut mengontrol.

''Sehingga apabila  terjadi konflik internal di Keraton atau Puro Pukualaman jangan sampai  mengganggu proses jabatan publik (gubernur dan wakil gubernur). Demikian sebaliknya apabila   terjadi masalah di proses jabatan publik di instansi pemerintah jangan sampai merambat ke lembaga Keraton dan Pakualaman. Jadi harus saling beradaptasi,''kata Ari .

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement