REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Simpang siur pengubah hukuman pidana mati kepada sindikat narkotika internasional, Deni Setia Maharwan alias Rapi Muhammad Majid terjawab sudah. Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Djoko Sarwoko, Jumat (12/10) mengungkapkan, yang mengubah penjatuhan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup bagi Deni bukanlah MA.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengubah ketentuan tersebut melalui grasi. MA, lanjut Djoko, dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) malah menolak permohonan pemohon Deni Setia yang telah dijatuhi vonis mati. Sidang putusan tersebut digelar Majelis Hakim PK pada 27 Februari 2003 dan diketuai oleh Toton Suprapto sebagai ketua muda dan beranggotan Iskandar Kamil dan Parman Suparman dan bernomor perkara 13 PK/Pid/2002.
"Jadi perubahan status sanksi kepada Deni itu berdasarkan grasi presiden," ungkap Djoko. Grasi tersebut dikeluarkan SBY melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/G/2012.
Keppres tersebut memutuskan, "Deni Setia yang lahir di Cianjur telah dijatuhi pidan mati, sebab dipersalahkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan tanpa hak melawan hukum menjadi perantara narkoba golongan satu berupa perubahan dari pidana mati yang dijatuhkan kepadanya menjadi pidana penjara seumur hidup."
"Deni sendiri, berdasar catatan MA, mengajukan grasi pada 26 April 2011 lalu. Atas pengajuan tersebut, MA mengeluarkan pertimbangan hukum tertanggal 19 Oktober 2011. Menurut Djoko, isi pertimbangan yang dikeluarkan MA menyatakan bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkan grasi.
Namun, pertimbangan tersebut nampaknya tak mendapat perhatian presiden. Hal itu dikarenakan presiden mengabulkan grasi Deni dengan mengeluarkan Keppres Nomor 7/G/2012. "Keppres itu ditandatangani pada 25 Januari 2012," ungkap Djoko.
Bahkan, SBY juga memberikan grasi kepada komplotan Deni, yakni Melika Pranola alias Ola alias Tania. Karena itu, vonis pidana mati yang diterima Deni dan Ola menjadi pidana penjara seumur hidup. Djoko mengatakan, grasi Ola dikeluarkan presiden pada 26 September 2011 dengan Keppres bernomor 35/G/2011.
Kendati pertimbangan hukum yang telah dikeluarkan MA tak mendapat respon, namun Djoko tetap menghargai pemberian grasi oleh presiden. Hal itu dikarenakan presiden memiliki hak untuk menganulir putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.