REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketegangan antara institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri kian meningkat. Peningkatan itu terlihat setelah sejumlah aparat kepolisian menyambangi Gedung KPK untuk menangkap seorang penyidik yang bernama Kompol Novel Baswedan pada Jumat (5/10) malam.
Menurut tokoh LSM, Usman Hamid, kejadian itu berpotensi menimbulkan friksi yang kian tajam bilamana penyelesaian tidak kunjung datang. Dia menegaskan, peristiwa malam itu ibarat bola salju yang terus membesar. Pemicunya adalah sengketa penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan alat simulator untuk pembuatan SIM.
"Ini jelas kelanjutan dari sengketa kasus simulator SIM, penarikan penyidik hingga upaya penangkapan penyidik KPK," papar Usman di sela-sela acara aksi damai "Save KPK, Save Indonesia" di Bundaran HI, Ahad (7/10).
Pada kesempatan itu, Usman menyatakan, penyelesaian kisruh itu hanya bisa dicapai melalui penegasan akan sebuah kesalahan dan kebenaran. Artinya, ucap dia, jika satu perkara memang hitam, sebut saja hitam, tapi bilamana putih, katakan putih.
Untuk itu, ungkap Usman, pihak yang dapat mengatakan hal tersebut tiada lain adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Alasannya, papar dia, presiden membawahi langsung institusi Polri. Jadi, ucap Usman, bilamana ada masalah yang bertalian dengan institusi kepolisian, presiden harus bertanggung jawab.