REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terpidana kasus Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin mengaku memiliki kuitansi bertanda tangan Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustafa terkait korupsi pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008. "Ada kuitansi tanda tangan Saan mengambil uang, bukan omong saja, ada buktinya," kata Nazaruddin seusai diperiksa KPK Jakarta, Rabu (3/10).
Mantan Bendahara Partai Demokrat tersebut dipanggil KPK untuk menjadi saksi dalam proyek PLTS yang sebelumnya ia sebutkan bahwa ada pertemuan antara dirinya, Saan, Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2008 Erman Suparno pernah membicarakan proyek PLTS di rumah dinas Menakertrans.
"Saya ditanyai tentang Saan Mustofa, kapan pertemuan di rumah menteri, kapan penyerahannya," jelas Nazar.
Nazar mngaku bahwa pihak yang mengatur pertemuan tersebut adalah Anas Urbaningrum sedangkan pengatur proyek PLTS adalah Saan Mustofa. "Kuitansi yang diambil Saan itu dari perusahaan langsung, uangnya diserahkan kepada Erman Suparno jumlahnya 50 ribu dolar AS," ungkap Nazar.
Menurut Nazar, Saan kemudian menyerahkan uang itu kepada Erman. Namun Saan Mustofa yang dipanggil KPK pada Rabu (26/9) kemarin membantah bahwa ia mengetahui atau mengurus proyek PLTS tesebut. "Tadi saya ditanya soal apakah pernah ikut mengurus soal PLTS ini, saya jawab tidak pernah, kemudian apakah saya tahu, saya jawab juga tidak tahu," kata Saan.
Selain proyek PLTS, Nazar juga dipanggil atas pelaporannya terhadap korupsi pembangunan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dengan jumlah Rp 300 miliar. "Gedung MK senilai Rp 300 miliar itu penunjukan langsung, sebelum anggaran turun ada pertemuan, dan setelah proyek selesai ada temuan kemahalan harga oleh BPK, saya menyampaikan fakta sekarang tinggal KPK mau memeriksa atau tidak," jelas Nazar.
Dalam kasus dugaan korupsi PLTS, KPK menetapkan istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni sebagai tersangka pada Agustus 2011. Neneng selaku Direktur Keuangan PT Anugerah Nusantara diduga melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus tersebut merupakan pengembangan kasus korupsi PLTS yang melibatkan pejabat Kemenakertrans Timas Ginting yang telah divonis dua tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 27 Februari 2012.
Ia dianggap terbukti menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen sehingga menguntungkan orang lain serta koorporasi dari pengadaan proyek PLTS yang nilainya Rp 8,9 miliar dengan menguntungkan PT Alfindo Nuratama yang mendapat Rp 2,7 miliar.
PT Alfindo hanyalah perusahaan yang dipinjam namanya oleh PT Anugerah Nusantara (Grup Permai) milik Nazaruddin dan Neneng untuk digunakan staf pemasaran Grup Permai Mindo Rosalina Manulang.
Setelah mendapatkan pembayaran tahap pertama, PT Alfindo melakukan subkontrak pengerjaan proyek PLTS ke PT Sundaya Indonesia dengan nilai kontrak Rp 5,29 miliar, sementara pembayaran yang diterima PT Alfindo dari Kemnakertrans mencapai lebih dari Rp 8,9 miliar.
Selisih nilai proyek dengan nilai subkontrakan ke PT Sundaya senilai Rp 2,7 miliar itu dianggap sebagai kerugian negara dengan Neneng diduga berperan dalam proses subkontrak.
Artinya ia dianggap melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.