REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Dari Sampah Hingga Makalah
Bukan hanya menanam pohon, Harini juga mengajak dan mengajarkan warga membuat kompos sederhana dari sampah rumah tangga mereka. Mengaku anak petani, sejak kecil ia sudah dididik untuk menanam dan membuat pupuk oleh ayahnya, Raden Ngabei Tjitro Diwirjo. ”Dulu zaman Belanda, tidak ada sampah keluar dari rumah, apalagi dibuang sembarangan. Sampah bakal jadi pupuk,” tuturnya manusia tiga zaman itu.
Ia juga menyadari, kala itu populasi tak sepadat sekarang dan rumah rata-rata memiliki pekarangan luas sehingga aktivitas itu mungkin dilakukan setiap saat. Harini tak ingin sekedar bernostalgia. Ia bersama anggota memutar otak bagaimana dengan lahan terbatas warga bisa tetap mengelola sampahnya sendiri.
Pertama ia mengajak warga memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Sampah-sampah organik itu kemudian dikumpulkan dalam tong-tong besar dan diproses menjadi kompos. Satu tong besar itu dapat digunakan oleh lima hingga enam keluarga. Khusus di depan rumahnya saja terdapat enam tong besar yang berarti kompos milik 36 kepala keluarga di kampung tersebut
Dalam melakukan semua aktivitasnya, Harini tidak bergabung dalam satu kelompok atau lembaga apa pun. Dia bergerak sendiri. Dalam kartu namanya, tepat di bawah nama, hanya tertulis Masyarakat Peduli Lingkungan. "Saya sendiri saja. Kalau saya butuh bantuan dari sebuah instansi, ya saya datangi sendiri. Justru karena sendiri, saya banyak ditolong orang," ujarnya
Kesungguhan Harini itu pula yang membuat UNESCO memutuskan memberi pelatihan daur ulang sampah. Lembaga dunia itu terkesan dan mengapresiasi upaya Harini bersama warga Banjarsari. Sejak tahun 1996 hingga akhir 2003, badan itu memberi bantuan berupa pelatihan pengelolaan sampah terpadu yang memang menjadi salah satu programnya.
UNESCO terpikat dengan pengetahuan Harini mengenai daur ulang sampah yang ia praktikkan di rumahnya. Lembaga itu melihat bagaimana Harini mengelola sendiri sampah rumah tangga menjadi kompos dan kemudian menggerakkan masyarakat sekelilingnya untuk mengelola sampah. Bagi Harini, “Sampahku adalah masalahku.” Hingga sekarang dia konsisten dengan sikap ini.
Sebagai bentuk penghormatan, lembaga itu pada tanggal 23 September 2004, di bawah judul The Green Experience of Banjarsari, menerbitkan sebuah ficer tentang Harini yang inspiratif, kesuksesan dan pelajaran yang dibaginya dengan antusias kepada warga Banjarsari. Harini telah membuat kunjungan di kampung itu meningkat. Pengunjung merentang mulai kelompok PKK daerah lain, murid sekolah, jurnalis, mahasiswa, pemuka agama, delegasi lintas propinsi, perusahaan swasta, pemerintah dan bahkan Menteri Kabinet.
Artikel juga menambahkan, pengalaman panjang Harini menunjukkan bahwa pengunjung—terlepas dari rentang usia dan latar pendidikan yang beragam—hanya tahu sedikit tentang bagaimana mengelola sampah di tingkat akar rumput. Bagi UNESCO, ini bukan sesuatu mengejutkan karena berdasar survei mereka, prinsip dasar pendidikan lingkungan sejauh ini belum diadopsi secara penuh di sekolah umum dan di tingkat komunitas.
UNESCO juga menyoroti kurangnya kapasitas pembuangan akhir di kota sebesar Jakarta yang menghasilkan sampah solid 6.000 ton saban harinya. Kondisi itu, pada 2003 bahkan memicu debat politik panas dan sikap berbeda antara otoritas kota dan pemerintah propinsi DKI Jakarta. Sebagai solusi, lembaga dunia itu pun mengacu kepada aktivitas warga Banjarsari. ”Sebuah ’langkah kecil’ bisa memainkan peran krusial mengatasi masalah sampah Jakarta secara konstruktif di tahun-tahun mendatang,” bunyi dalam artikel tersebut.
Tak berhenti sampai di sana, pada tahun 2000 Harini mendapat kesempatan istimewa. Ia diundangan oleh LSM Asing utnuk melakukan studi banding tentang pengelolaan sampah dan lingkungan hidup di Filipina dan Thailand. Kemampuan berbahasa Inggrisnya yang dianggapnya sangat pas-pasan tak menghalanginya terbang dan belajar di sana.
Kembali pulang, ia pun berbagi ilmu. Pensiunan guru itu pun merangkum pengalaman membuat kompos yang ia peroleh di luar negeri dan menuliskannya dalam petunjuk-petunjuk berbahasa sederhana. Dalam makalah itu pun terdapat pula grafis komunikatif. Kini ia memiliki satu bundel panduan sederhana terdiri dari sebelas lembar halaman kertas A4, berjudul 'Pengelolaan Sampah Terpadu Pada Lingkungan Pemukiman' yang siap dibagi ke pada siapa saja.
Panduan itu mudah dipahami dan diikuti. ”Harus sederhana, harus dengan bahasa yang mudah dimengerti, karena nanti yang membaca adalah orang biasa, rakyat kecil, anak sekolah dan pemulung,” ujar Harini. Ia mengaku hanya lulusan sekolah guru, bukan sarjana, namun sepertinya guru besar sekalipun tak ada yang bisa mendebat bila Harini telah menerapkan prinsip kontekstual dengan tepat, meski mungkin ia tak peduli dengan istilah tersebut.