REPUBLIKA.CO.ID, Menularkan Ilmu di Usia Senja
Pemuda saat ini boleh bangga dengan segudang aktivitasnya. Namun bila ditandingkan dengan semangat Harini dan kegiatannya di usianya yang senja, belum tentu mereka yang muda lebih istimewa. Sebelum berkunjung siang itu, ia sempat menerima 10 orang mahasiswa UI yang ingin belajar membuat kertas daur ulang.
”Saya cuma membantu kok, sekedar mendampingi,” tukasnya. Bahkan dalam obrolan selama dua jam ia sudah bolak-balik lima kali menerima telepon. ”Ada yang minta dijadwalkan kelas,” ungkapnya setelah menerima telepon kesekian kali.
Di rumahnya yang pernuh dengan bibit pohon, tanaman toga, tumbuhan serta tong-tong kompos, Harini membuka kelas khusus untuk belajar tentang lingkungan. Meski telah lama menjadi pensiunan guru, jiwa mendidiknya tidak mati.
Muridnya beragam, dari anak sekolah, ibu rumah tangga, hingga aktivis LSM. Mereka berkunjung untuk belajar bagaimana menanam bibit, membuat kompos dan membuat kerajinan daur ulang serta memanfaatkan kembali barang-barang yang telah dibuang, seperti boneka dari botol pemutih, tas dari bungkus cairan pelembut baju dan tali dari tas plastik.
Bagi Kampung Banjarsari keberadaan Harini memiliki peran nyata. Menurut hasil kajian sebuah LSM bernama Gugus Tugas Pengelolaan Sampah dalam situsnya, pengomposan dan daur ulang sampah anorganik yang dilakukan Kampung Banjarsari mampu menurukan volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir hingga 50 persen. Pola hidup masyarakat, masih menurut LSM tersebut, juga berubah. Tercatat 60 persen warga Banjarsari telah mengikuti pola hidup sehat dan ramah.
”Ini pesan mendiang suami saya. Ia bilang rumah ini harus jadi rumah rakyat,” kenangnya. ”Kalau saya tidak sedang keluar kota pasti saya membuka kelas, biasanya pukul sembilan pagi hingga dua siang,” tutur ibu dua putra dan dua putri ini. Antrian para kelompok pendaftar pun bisa lumayan terutama di pekan itu Harini kerap keluar kota.
Mereka bahkan berasal dari luar pulau. Seperti baru-baru ini ia menerima 20 tamu dari Makasar. ”Selain ingin diajari membuat kompos, mereka juga ingin tahu bagaimana mengelola lingkungan bebasis komunitas,” tuturnya. Sebagai balasan ia kerap diundang kelompok-kelompok lingkungan dari luar Jawa. ”Sekarang dari Aceh sampai Merauke sudah saya kunjungi,” ujarnya tertawa.
Harini juga memiliki murid khusus yakni pemulung. Setiap bulan ia mengajar 10 hingga 20 pemulung cara membuat kompos. ”Mereka gampang mengumpulkan sampah, jadi saya ajari supaya mereka bisa membuat kompos dirumahnya, nanti saya bantu mereka menjualkan kompos disini,” tuturnya. Lewat kegiatan itulah ia berteman akrab dengan pemulung.
Dari mana ia bisa memperoleh murid khusus itu? ”Oh saya minta tolong keluharan. ’Pak tolong saya dikirim pemulung, supaya bisa saya ajari bikin kompos,” tuturnya. Untuk kelas satu ini, Harini selalu siap dengan nasi bungkus dan uang saku minimal Rp10 ribu untuk ongkos transport. ”Mereka libur bekerja saat pelatihan, jadi tidak ada pendapatan hari itu,” buru-buru menjelaskan ketika membaca mimik tanda tanya.
Mengapa pemulung? Suatu hari ia melihat pemandangan seorang pemulung dengan anaknya mengais-ngais makanan di sampah. Begitu menemukan roti, ia berbagi dengan anaknya. ”Saya tidak kuat melihat pemandangan itu, mungkin apa yang saya lakukan bisa memberi tambahan masukan bagi mereka nanti,” harapnya.
Harini tak pernah memungut bayaran di setiap kelas yang ia buka. Ruang kelasnya pun sederhana hanya mampu menampung hingga 50 orang, 60 orang bila dipaksakan, dan selalu ramai. Lantas dari mana ongkos untuk fasilitas kegiatan? ”Selalu ada yang membantu, saya sendiri tidak menduga,” ungkapnya.
Seperti beberapa waktu lalu, ia menuturkan ada sebuah bank nasional besar mendatangi rumahnya dan bertanya apa yang ia butuhkan. Hartini tidak pernah meminta uang ”Saya meminta mereka menyumbang tong kompos, atau membuatkan wc dan kamar mandi umum untuk kelas, juga kanopi untuk orang-orang berteduh. Kalau saya minta uang bisa ramai tetangga,” kata Harini.
Ia tak hanya mengajar di kelasnya di rumah. Kerap undangan datang dari sekolah-sekolah di Jakarta, mulai dari sekolah negeri hingga sekolah swasta jaringan internasional. Australian International School dan Singapore Interanational School adalah dua di antara beberapa sekolah yang pernah ia sambangi.
Bukan cuma kelas lingkungan, ia juga mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak kecil usia taman kanak-kanak di kampungnya. ”Dulu kalau ada orang asing, mereka langsung lari sembunyi, kini paling tidak mereka bisa bilang, 'Hello, good morning, how are you sir',” tuturnya.
Ia mengaku masih memiliki banyak mimpi. ”Banyak yang masih belum tercapai,” ujarnya. Namun ia juga sadar tak lagi muda. ”Karena itu saya mengader mereka yang muda-muda agar kelak melanjutkan apa yang telah saya rintis,” ujarnya. Menurut Gugus Tugas pula, pelatihan-pelatihan yang dilakukan telah berhasil melahirkan kader-kader lingkungan baru sebanyak 55 orang (25 wanita dan 30 remaja).
Kian Tinggi Kian Kencang Anginnya
Pengabdian dan sepak terjang Harini sudah dimulai lebih 20 puluh tahun lalu, namun ia menganggap apa yang ia perbuat hanyalah merintis jalan kecil. ”Begitu pun ada yang menanggap bahwa saya berbuat itu hanya untuk menepuk dada,” ujarnya.
Ia mengaku ada beberapa tetangga yang tidak suka dan bertanya mengapa hanya ia yang didatangi wartawan, didatangi tamu-tamu. ”Padahal saya tidak pernah minta dan saya selalu membawa nama PKK,” ujarnya.
”Itulah mengapa manusia seperti pohon,” seloroh Harini. ”Saat dia sudah tumbuh dewasa dia akan berhadapan dengan angin, Semakin menjulang semakin kuat hembusan angin” imbuhnya.
”Padahal saya tidak ingin apa-apa, saya ingin menolong orang. Ketika ada bingkisan datang, atau sumbangan pemberian, saya selalu meminta asisten membagi langsung hari itu juga. Tidak pernah disimpan di sini (rumah saya) lebih dari sehari,” ujarnya. ”Saya juga tidak pernah meminta uang,” tegasnya.
Suatu saat gunjingan itu mungkin meniupnya sangat keras, hingga ia perlu menumpahkan perasaannya dalam sebuah puisi. Dalam obrolan siang itu, Harini bermurah hati memperlihatkan satu lembar kertas berlaminating dengan tulisan puisi berjudul 'Jalan Setapak'. Beberapa penggalan bait secara acak puisi itu berbunyi,
”Jalan Setapak itu aku mulai,
Batu Demi Batu Kususun Rapi
...... Jalan Setapak itu kini,
Menjadi Kebanggaan Khalayak Ramai
Batu-batu yang kususun rapi
Kini tidak tampak lagi
......... Batu-batu yang kususun dulu
Kini terkubur bersama namaku.
Sesaat sebelum berpisah muncul pertanyaan, ”Jadi setelah fase perawatan sejak kecil dan tiuapn angin di pucuk tertingi, adakah tahapan lain yang dilalui pohon? Harini menjawab enteng "Sudah itu saja, tidak ada lagi."
Harini lupa bahwa setiap pohon pasti akan memberi manfaat, sebut saja pohon jambu maka kelak ia akan menghasilkan jambu untuk dipanen. Mungkin Harini sudah menjelma menjadi pohon, yang terus tumbuh dan memberi, dengan akar-akar dan cabang yang terus bergerak. Pohon tidak pernah berpikir akan dipanen atau tidak, kamilah, orang-orang yang memanennya.