REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rantai terorisme di Indonesia sudah menyentuh paparan ideologi terorisme anak-anak dan remaja. Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni'am Sholeh, menegaskan, seharusnya penegakan hukum dalam perang melawan terorisme dilakukan seiring prinsip preventif dengan mencegah terjadinya paparan ideologi radikal sejak anak-anak.
KPAI mengambil perspektif pencegahan sedari dini. Untuk itu, perlu ada pendekatan persuasif, dengan program deradikalisasi berbasis pada keluarga. Dia meminta agar pemerintah serius melakukan program deradikalisasi berbasis keluarga untuk memutus rantai tadi.
"Deradikalisasi yang menjadi program kontra-terorisme tidak bisa hanya dilakukan pada orang dewasa. Perlu ada terobosan program yang berbasis keluarga, di mana orang tua disadarkan akan tanggung jawab pada anak", ujarnya, Kamis (13/9).
Program deradikalisasi hendaknya benar-benar diarahkan untuk memutus mata rantai regenerasi jaringan teroris. Salah satu caranya, dengan mencegah anak-anak dari kemungkinan terpapar penyebaran ideologi radikal oleh jaringan teroris.
Asrorun mengungkapkan, persemaian ideologi kekerasan atau terorisme umumnya tumbuh pada masa anak-anak dan remaja. Untuk itu, diperlukan program untuk menyelamatkan kalangan anak dan remaja dari paparan ideologi kekerasan. "Banyak tunas baru teroris itu tumbuh saat usia anak atau remaja belasan tahun. Kita harus memutus mata rantai benih tumbuhnya ideologi kekerasan semacam itu sejak dini," tambahnya.
Jika ada anak-anak atau remaja yang diketahui potensial menjadi bibit radikalis atau teroris, negara dapat mengambil mereka, menjauhkannya dari jaringan teroris, dan mendidiknya dengan pemahaman keagamaan yang moderat. "Keluarga, terutama orangtua, harus lebih giat memantau perkembangan perilaku dan pendidikan anak," katanya. Jika paparan ideologi itu dari orang tua, maka negara harus memisahkannya dari orang tua, melindungi, dan membinanya.