REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN -- Musim kemarau yang masih melanda Jakarta berdampak negatif pada tingkat polusi dan kualitas udara ibu kota. Beberapa faktor yang dipengaruhi adalah tingkat Total Solid Partikel (TSP) dan PN10 yang meningkat.
TSP adalah kumpulan mikro partikel yang beredar di udara, sedangkan PN10 adalah debu yang berada sepuluh meter di atas permukaan tanah. Kedua parameter ini meningkat keberadaannya pada musim kering.
"Aktifitas manusia dalam kondisi kering meningkatkan karbon dioksida di udara, juga debu-debu," ujar Rusman Sagala, Kepala Bidang Pelestarian dan Tata Lingkungan (BPLHD) DKI Jakarta kepada ROL, Selasa (11/9).
Keadaan ini, katanya, diperparah dengan efek rumah kaca yang membuat udara semakin panas dan terik. TSP dan PN10 adalah sebagian parameter yang diukur dalam Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU). SPKU adalah sebuah alat untuk mengukur kualitas udara yang ditempatkan di beberapa titik di Jakarta.
Saat ini, Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) tersedia 14 buah dari idealnya sebanyak 25 buah. SPKU beroperasi dengan dua cara yaitu manual aktif dan otomatis.
SPKU manual aktif memerlukan operator untuk menyalakan dan mematikan dan digunakan jika diperlukan. SPKU manual aktif ditempatkan di Kuningan, Tebet, Kalideres, Cilincing, Ancol, Pulogadung, Ciracas, Kramat Pela, dan Istiqlal.
SPKU otomatis beroperasi terus-menerus dan dapat langsung menganalisa udara dengan sistem yang ada di dalamnya. SPKU otomatis ditempatkan di Bundaran HI, Kelapa Gading, Lubang Buaya, Jagakarsa dan Gedung Olah Raga Cendrawasih Jakarta Barat.
"Dengan SPKU otomatis, warga dapat melihat kualitas udara di daerah tersebut, jika menyala lampu merah maka kualitas udara sedang buruk dan disarankan memakai masker," ujar Rusman mengakhiri.