REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Ribuan waga Batang menggelar aksi penolakan pembangunan PLTU di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jateng, Senin (3/9).
Demo tersebut merupakan aksi penolakan kesekian kalinya, namun suara mereka tak pernah tersambut.
Selain penolakan tersebut, mereka juga menggugat keputusan Bupati Batang Nomor 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban.
Direktur LBH Semarang, Slamet Haryanto, mengatakan warga menggugat keputusan Bupati karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN.
Tak hanya itu, keputusan tersebut juga bertentangan dengan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029. "Keputusan itu juga bertolak belakang dengan aspirasi warga yang menolak pembangunan PLTU," ujar Slamet.
Sebelumnya dikabarkan, rencana pembangunan proyek PLTU di Batang melingkupi area taman wisata laut di kawasan pantai Ujungnegoro-Roban. Warga Batang juga menolak proyek PLTU karena akan dibangun di empat desa berlahan subur, yakni yakni Ujungnegoro, Ponowareng, Karanggeneng dan Roban. Telah banyak aksi yang dilakukan mereka untuk menolak pembangunan PLTU yang menelan biaya Rp 35 triliun tersebut.
Ketua Paguyuban Rakyat Batang Berjuang untuk Konservasi, M Ali Tafrihan, pernah mengatakan, tanah calon lahan PLTU tersebut mampu ditanami padi dengan hasil panen tiga kali dalam setahun.
Sistem irigasi teknis yang diterapkan disana merupakan hasil pembangunan masa Presiden Soeharto pada tahun 1983. Selain itu, kebanyakan warga adalah buruh tani. Jika lahan itu dijual, maka mereka akan kehilangan mata pencaharian.
Meski demikian, Bupati Batang, Yoyok Rio Sudibyo, mengaku kepada Gubernur Jateng, bahwa pihaknya telah mendapat surat rekomendasi dari Menteri Kelautan terkait proyek tersebut.