Rabu 08 Aug 2012 16:38 WIB

Mengelola Pikiran dan Perasaan

Margaret Thatcher
Foto: dailymail
Margaret Thatcher

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Sofiandy Zakaria, MPsi*

Perdana Menteri (PM ) Inggris lagendaris di tahun tujuhpuluhan Margaret Tatcher  yang punya nama kecil Maggie, sangat dihargai dan disegani karena keajegan pikiran dalam memperjuangkan pendirian politiknya.

Karena ke-ajengan pikirannya ia dipandang oleh lawan-lawan politiknya sebagai orang yang keras kepala (stubborn) dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Tidak mengherankan kalau Maggie, dijuluki sebagai Wanita Si Tangan Besi dan kemudian perjalanan hidupnya difilmkan di bawah judul “The Iron Lady”.

Hakekat film ini mengajarkan kepada kita keteguhan seseorang  dalam memperjuangkan pendirian dan keyakinannya secara konsisten (istiqomah), walaupun harus berhadapan dengan cercaan, kritikan, demonstrasi anarkis, bahkan teror fisik maupun psikis.

Klimaks keteguhan Maggie,  ia buktikan pada tanggal 12 April 1982 ketika pemerintah Inggris  di bawah kepemimpinannya  memutuskan untuk menyerang Argentina karena dianggap telah menyaplok begitu saja kepulauan Malvinas (Falkland islands) yang dianggapnya  masih milik (jajahan) negara Inggris.

Setelah berkecamuk perang selama kurang lebih tiga bulan, kemenangan Inggris  atas Argentina pada !4 Juni 1982, telah melambungkan bukan hanya citra tapi juga reputasi Margaret Tatcher  sebagai PM yang sangat dihormati dan disegani, bukan hanya oleh teman-temannya tapi juga oleh lawa-lawan politiknya.

Keteguhan pendirian Maggie adalah pengaruh kuat  dari ayahnya  yang selalu mengingatkan pentingnya mengutamakan pikiran dalam kehidupan. Petuah ayahnya yang selalu diingatnya adalah: “Hati-hati dengan pikiranmu, karena akan menjadi perkataan, hati-hati dengan perkataanmu karena akan menimbulkan tindakan, dan hati-hati dengan tindakanmu karena akan menjadi kebiasaan”.

Di dunia politik, Maggie menampilkan sosok tangguh, disegani dan dihormati, akan tetapi sebaliknya ia kurang  memiliki hubungan emosional yang baik dengan ibu kandungnya, bahkan di hari tuanya ia sangat memprihatinkan dan menyedihkan, karena akhirnya ditinggal suami, yang merasa disepelekan,  tidak dihargai pemikiran dan perasaannya. Akhirnya suami dan anak laki-lakinya pun terpaksa pergi dan tinggal di Afrika Selatan.

Maggie memang mempunyai kemampuan mengelola pikiran (kognisi) dengan baik dan berhasil menjadi pemimpin partai konservatif Inggris yang telah mengantarkannya menjadi salah seorang perdana menteri terkenal pemerintahan Inggris, tetapi ia gagal dalam mengelola perasaan dan emosinya (afeksi), terutama ketika ia harus hidup berdampingan bersama suaminya, Denis Tatcher yang selalu merasa bertentangan (ambivalent). Maggie lupa di rumahnya bukanlah perdana menteri, akan tetapi ia seorang mitra suami  dan terutama adalah  istri  yang harus mengabdi dan berbagi pikiran dan emosi kepada suami sebagai pemimpin dalam membangun keluarganya.

Dalam kehidupan manusia, keteguhan pikiran memang diperlukan, terutama untuk menegakkan keyakinan akan yang hak dan memberantas yang bathil. Akan tetapi keteguhan menegakkan keyakinan (keimanan) yang baik dan benar, telah dicontohkan secara gamblang sejak empat belas abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW.

Beliau   istiqomah dalam menegakkan keyakinan yang benar, akan tetapi pikiran beliau selalu terbuka dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Beliau mengedepankan komunikasi dialogis dengan siapapun untuk mencapai kesepakatan. Bahkan dikisahkan (Hadji Agus Salim dalam Pesan-Pesan Islam hlm. 100), dengan orang Kristen  di Najran, yaitu daerah tanah Arab Tengah, Nabi Muhammad, setelah menegakkan jamaah di Madinah, mengadakan perjanjian perdamaian, sekalipun ia tidak membuat orang Kristen itu beralih memeluk agama Islam.

Termasuk dengan istri-istrinya, beliau dikenal sangat santun dan tidak pernah memaksakan kehendak yang akan memicu pertengkaran atau perselisihan. Pikiran beliau  konsisten mengikuti pedoman Al-Qur’an untuk memperjuangkan kebenaran dalam memperbaiki akhlak manusia.

 

Akan tetapi dalam proses sosialisasi (tabligh) kebenaran (haq) ia juga selalu sabar dan tawakkal dalam menghadapi lawan-lawannya yang berseberangan dalam keyakinan. Saling menasihati akan kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran (Al-Asr: 3). Itulah keunggulan beliau sebagai nabi, rasul dan manusia biasa, yaitu memiliki

kemampuan mengelola pikiran dan perasaan dalam menghadapi  baik lawan maupun kawan dalam kehidupannya.

Tata kelola pikiran dan perasaan yang tertib dari beliau telah menghasilkan tauladan, bukan hanya perkataan yang sopan dan santun, menyontohkan tindakan yang tepat dan bijak, menjadikan kebiasaan yang baik (akhlaqul karimah), membentuk kepribadian individu-individu yang tangguh, tapi juga membangun kebudayaan manusia yang modern lintas agama sepanjang massa.   Wallahu a’lam bish shawab.

*Penulis: Dosen Komunikasi FISIP – Univ. Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement