REPUBLIKA.CO.ID,MANOKWARI--Penyebutan Indonesia ‘bukan negara agamis tapi bukan negara sekuler’ sangat kontraproduktif dan karenanya harus segera dihentikan.
Hal ini diungkapkan Asisten Deputi Pendidikan dan Agama Kemenko Kesra, Prof Yudian Wahyudi PhD dalam Dialog Multikultural Antar Pemuka Agama di Manokwari, Papua Barat, Sabtu. “Penyebutan ini merupakan bentuk pembodohan dan menimbulkan kebingungan,” katanya.
Menurutnya, slogan itu muncul ketika era Orde Baru yang ingin menghapuskan pengaruh komunisme dan DI/TII, sehingga kata-kata religius dan sekuler sangat dihindari. Namun kini, semua harus dibuka. “Kenapa radikalisme muncul, karena selama Orde baru ekspresi keagamaan dikekang, sehingga lahir militansi,” katanya.
Sila pertama dasar negara, katanya, adalah pengakuan kereligiusan bangsa Indonesia. Sila lain, menyebut nasionalisme. “Kita negara nasional religius,” tambahnya.
Banyaknya agama di Indonesia, katanya, mengokohkan bangsa kita bukan sebagai bangsa sekuler. “Hanya perlu dikelola dengan baik agar tak menjadi sumber konflik dan radikalisme,” tambahnya.
Caranya, kata dia, adalah dengan mencari titik temu dan menemukan kepentingan bersama. Menurutnya, intisari ajaran semua agama adalah sama, yaitu saling mengasihi dan menghormati sesama umat manusia. Inilah yang harus diolah dan diturunkan dalam strategi yang mendukung harmonisasi kehidupan.
Ia memilah pengelolaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini menjadi tiga, yaitu agama sebagai bagian dari ibadah pribadi, yang diajarkan oleh ulama pada umatnya, agama sebagai bagian dari muamalah, dengan menggali ajaran masing-masing agama yang berkaitan dengan kehidupan bermsayarakat, dan ketiga, dijabarkan dalam topik-topik dalam mata pelajaran pendidikan moral. “Jadi kalau kita bicara tentang korupsi, misalnya, maka semua agama satu suara bahwa perbuatan itu haram,” katanya.