Sabtu 07 Jul 2012 06:56 WIB

Pakar: 'Saweran' Gedung KPK Wajar

Sejumlah relawan menggelar aksi koin untuk KPK di depan Gedung KPK, Jakarta.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Sejumlah relawan menggelar aksi koin untuk KPK di depan Gedung KPK, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indrianto Senoadji, menyatakan "saweran" atau pengumpulan dana untuk pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan hal wajar, sebagai bentuk dukungan publik terhadap lembaga antikorupsi tersebut.

"Hanya saja KPK tetap harus mematuhi mekanisme prosedur persetujuan DPR," katanya di Jakarta, Jumat (6/7) malam.

Ia menambahkan, tentunya KPK sendiri cukup paham tentang "saweran" karenanya lembaga itu tidak menerima bantuan dana dari publik secara fisik dan hanya dicatat secara administratif saja.

Indrianto mengatakan, seyogyanya kalau dana itu diterima KPK kelak, maka sebaiknya dipikirkan legalitas sebagai pembenaran yang sah.

"Apabila dana itu dinyatakan sah dan tidak melanggar undang-undang, maka sebaiknya audit independen dilakukan," katanya.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengingatkan saweran itu bukan menjadi prioritas utama untuk membangun gedung KPK dan cukup menjadi bentuk sindiran terhadap sikap DPR yang juga tidak menyetujui pembangunan gedung baru tersebut.

"Saweran jangan dijadikan prioritas, karena dikhawatirkan jika ada konglomerat yang turut menyumbang misalnya mencapai Rp2 miliar. Nanti, KPK akan diatur konglomerat itu," katanya.

Lebih baik, lanjutnya, nantinya setelah dana "saweran" itu terkumpul, maka segera dibawa ke DPR yang bisa melalui aksi demo hingga akan menyindir keberadaan wakil rakyat tersebut.

"Bahkan, kalau perlu warga melakukan gugatan 'class action' terhadap DPR," katanya.

Boyamin juga menawarkan gebrakan dengan mengajukan permohonan "judicial review" Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar DPR tidak bisa memaksakan kehendaknya.

"Di AS saja, presidennya punya hak veto di kongres, mengapa di Indonesia tidak bisa padahal kita negara kesatuan," katanya.

Ia menambahkan, jika eksekutif mempunyai hak veto seperti di AS, maka DPR tidak bisa bersikap demikian di dalam menolak pembangunan gedung KPK.

"Karena itu, saya sendiri berencana mengajukan 'judicial review' ke Mahkamah Konstitusi," katanya.

Sebelumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi AKil Mochtar menilai, "saweran" gedung KPK merupakan bentuk gratifikasi.

"'Saweran' ini bentuk gratifikasi," kata Akil, saat mengobrol santai dengan wartawan di Jakarta, Kamis (5/7).

Menurut dia, anggaran gedung yang mencapai ratusan miliar tidak mungkin dikumpulkan dengan sumbangan hanya Rp1.000, tetapi pasti ada sumbangan dari pihak yang menyumbang dengan jumlah yang besar.

Akil mengkhawatirkan, jika orang yang menyumbang dengan nilai besar ini nantinya bisa memengaruhi kebijakan KPK sendiri.

"Orang ini bisa mendesak KPK karena sumbangannya besar," katanya

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement