REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Konflikdi Papua tidak hanya terjadi antarsuku, tetapu juga konfli vertikal antara pihak keamanan dengan masyarakat.
Kesejahteraan terhadap masyarakat Papua juga masih jauh dari harapan. Keberadaan PT Freeport Indonesia yang melakukan eksplorasi dan eksplotasi di Tembagapura, Papua pun tidak lantas membuat masyarakat Papua beranjak dari ketertinggalannya.
Para pengamat Papua pun mengimbau kepada pemerintah pusat agar mengedepankan pendekatan pembangunan untuk Papua.
"Pendekatan untuk membangun Papua jangan melalui pendekatan politik, tapi dengan pendekatan pembangunan," kata Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), Ngadisah Dalail dalam acara seminar 'Arah Politik Nasionalisme Papua' di Hotel Aston Rasuna, Jakarta.
Ia mempertanyakan tiga hal mengenai kondisi Papua saat ini yaitu kenapa di tengah-tengah pembangunan, ada konflik terus di Papua, lalu mengapa banyaknya dana yang digelontorkan untuk Papua akan tetapi masyarakat Papua masih miskin dan mengapa kerusuhan terus terjadi di Papua.
Ia juga mengingatkan jika kondisi tersebut terus berlanjut, tidak dapat dipungkiri akan ada nasionalisme ganda di Papua.
Menurutnya dana yang digelontorkan pemerintah pusat kepada Papua sudah sangat besar dan harus diakui membuat iri bagi provinsi lain. Ia memaparkan dana otonomi khusus (Otsus) yang digelontorkan setiap lima tahun dari pemerintah pusat yaitu sebesar Rp 30 triliun.
Ia pun membandingkan jika dana tersebut diberikan di Jawa, pasti banyak yang bisa dibangun. Namun dana tersebut menjadi belum berarti banyak saat diberikan kepada Papua. Selain itu pemerintah pusat juga mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana nasional untuk dana alokasi untuk Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan DPR atas usulan dari Gubernur.
"Dana ini kan menjadi tidak terbatas karena berdasarkan usulan dari Gubernur," tegasnya. Selain itu, PT Freeport Indonesia juga wajib memberikan satu persen dari hasil usaha pertambangannya kepada Papua yakni antara 58-70 juta Dolar AS.