Sabtu 02 Jun 2012 06:23 WIB

Berdagang Es, Cari Nafkah Sambil Terapi

Rep: Rr. Laeny Sulistywati/ Red: Heri Ruslan
Terminal Bekasi
Foto: antara
Terminal Bekasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Sambil menyelam minum air, peribahasa itu tampaknya pas untuk menggambarkan keseharian Muhammad Yusuf. Laki-laki berusia 50 tahun ini menjadikan usaha berdagang es cendol dan es cincau sebagai usaha mencari nafkah dan terapi kesehatannya.

Siang itu Republika sedang berada di Terminal Induk Bekasi. Di dekat pintu masuk utama terminal terlihat seorang pria sedang duduk. Dia terlihat menunggu dagangannya. Ya,  pria tersebut menjual es cendol dan es cincau.

“Beli es apa?” tanya pria yang ternyata bernama Muhammad Yusuf ini. Gurat wajahnya yang menunjukkan usianya telah menua dan rambutnya yang tampak ada yang memutih tidak menghalangi kegesitannya. Begitu Republika memesan es cendol, segera dia menyiapkan racikan es, berurutan mulai dari es batu, dawet, tape, sampai santan. Setelah racikan es selesai, dia menyuguhkan segelas es cendol segar itu.

Pria berusia 50 tahun ini juga menjual es cincau. Kedua jenis es ini dia jual dalam satu gerobak biru bertuliskan ‘jual es cendol dan es cincau’. Kedua bahan es tersebut dia taruh di atas gerobak sehingga pembeli dapat melihat langsung cara dia meracik es.

Saya sudah menjual es ini sejak Januari 2010 lalu,” katanya menjelaskan. Yusuf menjual es setiap hari sejak pukul setengah sepuluh sampai pukul empat sore. “Saya setiap hari jualan, tidak ada libur wong makan tidak libur,” katanya.

Sebenarnya Yusuf pada Desember 1988 silam sudah bekerja di Dinas Perhubungan terminal induk  Bekasi. “Tetapi saya hanya tenaga magang, jadi bukan tetap,” ujarnya. Pekerjaan tersebut terus dijalaninya sampai pada tahun 2006, musibah menimpa dirinya.

 “Saya terkena stroke, sehingga saya harus berhenti dari pekerjaan,” katanya. Struk membuatnya merasa benar-benar lumpuh dan tidak bertenaga. Laki-laki yang tinggal di kawasan Semut Raya, Bekasi Timur ini harus menggantungkan hidup pada keluarganya, termasuk pada anaknya.

Merasa ingin berusaha tidak ingin menggantungkan hidup pada anaknya, dia pun membuat keputusan. Selain itu dia ingin membuka usaha supaya sehat.

Akhirnya pria empat anak ini memutuskan untuk menjadi penjual es cendol dan es cincau. Dia memiliki alasan tersendiri kenapa dia memilih menjadi penjual es.

“Alasannya karena modal membuka usaha terjangkau dan melatih supaya saya cepat berjalan dengan lancar,” katanya. Dia juga mengatakan menjual es cincau adalah ibarat tongkat baginya untuk berjalan.

Pria yang berasal dari Palembang ini mengatakan modal membuka usaha es tidak besar, sehingga dia mau membuka usaha es ini. Selain itu dia juga beralasan dengan menjual es di gerobak, maka dia harus mendorong gerobak tersebut dari rumahnya ke terminal, begitu juga sebaliknya.

“Dengan mendorong gerobak tersebut maka itu menjadi terapi untuk saya, karena orang stroke kan harus dilatih untuk berjalan supaya lancar jalannya,” ujarnya. Dia mengatakan tidak memiliki cukup biaya untuk melanjutkan pengobatan penyakitnya ke dokter.

 “Seharusnya kalau orang yang dapat berjalan normal, dia dapat menempuh perjalanan dari rumah ke terminal sekitar 10 menit tetapi kalau saya bisa selama 30 menit,” ujarnya. “Alhamdulilah sekarang kondisinya lebih baik,” katanya. Yusuf menunjukkan pada Republika, meski sudah dapat berjualan, tetapi kakinya masih belum pulih benar. Jalannya masih pelan-pelan.

 Pria yang sekolah sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) ini mengatakan dengan menjual es cincau maka dia memiliki pengalaman suka dan duka. “Sukanya kalau cuaca sedang panas ya saya mendapat uang,” tuturnya.

Selain itu dia juga mengatakan dia mendapat uang dan jadi sehat dengan menjual es. Sedangkan pengalaman duka yang dia rasakan adalah ketika cuaca hujan, maka dia tidak mendapat uang, tidak kembali modal.

Dia mengaku bangga menjual es, karena dengan kondisi awal sakit kemudian dia bangkit dan menjual es. “Saya menjadi sehat dan meski mendapat hasil yang tidak seberapa tetapi saya mensyukurinya,” ungkapnya bijak.

Uang yang diperoleh dari hasil berjualan sebenarnya tidak pasti. “Kadang 70 ribu, 60 ribu, sampai 40 ribu rupiah,” katanya. Tetapi Yusuf juga pernah tidak mendapat uang jika cuaca sedang hujan. Kalau sudah begitu dia terpaksa menutup dagangannya dan pulang.

 “Tapi untung yang saya peroleh kan juga harus dibuat modal, untuk beli gula, tapenya,” katanya. Jadi uang yang diperoleh adalah penghasilan kotor.

 Pria berkulit gelap ini mengatakan sebenarnya tidak ingin terus menjadi tukang penjual es. “Sebenarnya saya ingin mendapat pekerjaan yang lebih baik, tetapi kalau pendidikan tidak ada dan modal tidak ada ya bagaimana lagi,” ungkapnya pasrah.

Tetapi meskipun begitu, dia merasa bangga menjadi penjual es. “Tidak semua orang penderita stroke dapat berjualan seperti saya,” tuturnya.

Jadi dia merasa bersyukur untuk hal tersebut. Yusuf juga memutuskan, selama tidak ada modal dan masih diberi kehidupan, dia tetap menjual es.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement