REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito menilai, langkah Partai Demokrat yang mengatakan kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengantungi 10 nama capres sebagai bentuk pencitraan. Yaitu, karena terprovokasi oleh partai lain yang sudah meramaikan bursa capres.
"Sebagai partai pemenang, Demokrat merasa juga harus bicara, harus bikin bursa secara psikologis politik," katanya ketika dihubungi, Senin (28/5).
Meskipun, lanjutnya, secara realitas hal itu belum tentu benar. Apalagi saat ini Demokrat dalam kondisi terpecah-pecah. Yaitu, munculnya beberapa faksi pasca-Nazaruddin. Karenanya, pernyataan itu hanya untuk melempar kartu.
Selain itu, dalam sejarahnya Demokrat selalu tergantung pada SBY. Hanya pada putaran terakhir kongres ada beberapa kader yang tidak sejalan dengan SBY. Namun, sikap ini tak bisa disampaikan secara frontal. Karena simbol yang bisa dikapitalisasi hanya SBY.
"Demokrat kesulitan untuk punya figur. Makanya, secara realistis Demokrat belum solid untuk menentukan siapa capres yang akan diusung. Dengan mengatakan mengantongi nama calon, dia berupaya membangun hegemoninya," tutur Arie.
Jadi, ujar Arie, manuver ini hanya sandiwara saja yang sengaja dimunculkan faksi SBY untuk menyenangkan kader. Artinya, kalau SBY bilang sudah punya nama, maka kader punya harapan untuk menunggu SBY bersuara.
Di satu sisi, langkah ini dapat meredam spekulasi di internal. Secara eksternal, mencoba membangun pencitraan kalau Demokrat tak defisit calon. "Hanya gengsi sebagai pemenang pemilu tak memunculkan kader. Makanya, bilang SBY sudah mengantongi nama capres," tuturnya.
Ia juga mengaku tak yakin kalau Ani Yudhoyono akan menjadi nama capres yang diusung Demokrat. Pasalnya, SBY sudah terlanjut mengatakan kalau dirinya dan keluarga tak akan maju menjadi capres.
"Selama ini SBY bergerak berdasarkan citra. Makanya, kalau dia menjilat ludahnya, dia pasti akan terganggu. Apalagi dia juga akan dihajar karena mengembangkan politik dinasti," imbuh Arie.
Selain itu, meskipun memiliki popularitas tinggi, tapi elektabilitas Ani rendah. Ia pun belum pernah teruji layaknya tokoh politik perempuan lain di dunia. Popularitas yang dimilikinya pun hanya sebatas karena istri presiden.
Kalau ternyata hingga akhir Demokrat gagal melakukan konsolidasi dan kaderisasi untuk memunculkan figur capres, maka ada kemungkinan untuk mengusung capres dari eksternal. Menurut Arie, ini akan dilakukan dengan cara konvensi.
Konvensi dipilih untuk membangun imej Demokrat sebagai partai yang demokratis. Padahal, mekanisme itu digunakan untuk menutupi krisis kaderisasi dalam internal partai.