REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LSM Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) menilai grasi bagi terpidana, Schapelle Leigh Corby melumpuhkan asas pemerintahan.
Grasi tersebut jelas telah mengabaikan isi UU Narkotika, yang menyatakan bahwa kejahatan narkoba adalah termasuk kejahatan yang sangat serius, yang dapat menghancurkan generasi penerus bahkan sebuah bangsa.
"Kejahatan narkoba diakui sebagai kejahatan yang dapat mengancam stabilitas negara dan keselamatan bangsa," tegas Ketua Umum Granat, Henry Yosodiningrat, saat dihubungi, Ahad (27/5).
Peredaran narkoba akan mengakibatkan kejahatan lain, seperti pembunuhan. Kartel narkoba akan membunuh lawannya, baik masyarakat sipil, bahkan aparat. Hal ini dinilainya akan mengancam kondisi keamanan.
Belum lagi aksi perampokan, kata Henry, bahkan penjarahan, demi mendapatkan modal membeli narkoba. Menurutnya, pecandu yang sudah menggila akan melakukan berbagai cara mendapatkan narkoba.
Henry menyatakan masyarakat dunia melalui PBB telah mengeluarkan konvensi tentang Pemberantasan Narkotika dan Psikotropika tahun 1988. Konvensi ini telah dirativikasi menjadi UU No 7 tahun 1997. "Dengan memberikan grasi tersebut, Presiden telah bisa dikatakan telah melanggar artikel pertama dari konvensi tersebut," tukasnya
Keputusan Presiden Bambang Yudhoyono memberikan grasi pada Corby berbuntut panjang. Granat akan segera melayangkan gugatan class action atas? grasi tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Henry mengakui bahwa grasi adalah hak prerogatif presiden. Tapi, katanya, grasi hendaknya diberikan dengan tidak mengesampingkan moral, rasa keadilan masyarakat, serta arah pembangunan bangsa.