REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyebut tiga alasan pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Schapelle Leigh Corby, terpidana 20 tahun penjara dari Australia dalam perkara penyelundupan ganja 4,2 kilogram ke Bali pada 8 Oktober 2004.
"Sebelum memberikan grasi itu, Presiden memang meminta pendapat MA, lalu kami memberikan tiga pendapat, ternyata pendapat itu menjadi dasar dari pertimbangan Presiden untuk grasi itu," katanya di aula Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat.
Dalam dialog hukum bertajuk "Kajian Permasalahan Hukum Berkaitan Rasa Keadilan dan Penegakan Hukum" yang digelar Ikatan Alumni FH Unair Surabaya, orang nomor satu di MA yang juga alumni FH Unair angkatan 1972 itu menegaskan bahwa pertimbangan MA itu diberikan Ketua MA yang lama.
"Masalah grasi itu merupakan hak konstitusional Presiden sesuai dengan UUD 1945, tapi mekanismenya memang dilakukan dengan meminta pendapat MA dan Kemenkumham. Pendapat MA itu disampaikan pada tanggal 22 Juli 2011, sedangkan saya menjabat Ketua MA terhitung mulai 1 Maret 2012," katanya.
Menurut dia, tiga pendapat Ketua MA saat itu adalah Corby mengalami depresi berat sehingga perlu didampingi psikiater, Corby hingga kini masih merasa tidak bersalah karena narkotika yang ditemukan adalah disisipkan orang yang tak dikenal, dan polisi Australia tidak memiliki cacat Corby terkait dengan narkoba.
"Bahkan, polisi Australia memberikan jaminan bahwa Corby bukan pengguna maupun pengedar narkotika sebab dia merupakan mahasiswa kecantikan. Jadi, tiga pendapat itulah yang disampaikan MA kepada Presiden," kata mantan Ketua Muda Bidang Pengawasan MA itu.
Atas dasar pertimbangan itu pula, lanjut dia, Presiden akhirnya memberikan grasi bagi Corby dari 20 tahun menjadi 15 tahun. "Masalahnya, alasan kemanusiaan itu menjadi polemik dari kacamata politik," katanya.
Apalagi, pemberian grasi itu tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam membatasi pemberian remisi untuk narapidana korupsi dan narkotika sehingga polemik secara politik memanfaatkan "titik sentral" itu.
"Yang jelas, pertimbangan itu tidak politis, tetapi kemanusiaan ansich. Lebih dari itu, Presiden juga dijamin UUD 1945 untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti. Kalau abolisi dan amnesti memang politis," katanya.