Senin 14 May 2012 11:45 WIB

Gunung Salak 'Kuburan' Pesawat Terbang

Aparat TNI melakukan proses pencarian korban diantara serpihan puing pesawat Sukhoi Superjet 100 yang ditemukan di Puncak Salak 1, Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/5).
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Aparat TNI melakukan proses pencarian korban diantara serpihan puing pesawat Sukhoi Superjet 100 yang ditemukan di Puncak Salak 1, Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/5).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Banyaknya kecelakaan di Gunung Salak, yang berada di wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, membuat gunung itu disebut-sebut sebagai 'kuburan' pesawat terbang. Selain dibumbui aroma mistis mengingat kabut tebal selalu menyelimuti gunung tersebut, dari segi logika kabut tebal secara tidak langsung akan mengganggu perjalanan pesawat terbang. Dan tragedi pesawat Sukhoi Superjet 100 yang diduga menabrak tebing gunung, Rabu (9/5) menjadi contohnya.

Bagi kalangan pegiat alam bebas sendiri, karakteristik gunung tersebut memang terbilang unik dibandingkan gunung-gunung lainnya di Pulau Jawa, atau bisa dikatakan karakteristiknya menyerupai dengan gunung di Bukit Barisan yang membelah Bumi Andalas atau Sumatera. Bahkan, gunung tersebut juga banyak menelan korban dari kalangan pendaki gunung, mengingat cukup ekstremnya medan ditambah dengan kondisi hutan yang cukup lebat. Alhasil, memudahkan orang yang kurang memahami dunia alam bebas, tersesat di gunung tersebut.

Dari data Wikipedia menyebutkan, hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah (submontane forest) dan hutan pegunungan atas (montane forest). Bagian bawah kawasan hutan, semula merupakan hutan produksi yang ditanami Perum Perhutani. Beberapa jenis pohon yang ditanam di sini adalah tusam (Pinus merkusii) dan rasamala (Altingia excelsa). Kemudian, sebagaimana umumnya hutan pegunungan bawah di Jawa, terdapat pula jenis-jenis pohon puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis sp.), pasang (Lithocarpus sp.) dan aneka jenis huru (suku Lauraceae).

Di hutan ini, pada beberapa lokasi, terutama di arah Cidahu, Sukabumi, ditemukan pula jenis tumbuhan langka yang bernama Rafflesia rochussenii, yang menyebar terbatas sampai Gunung Gede dan Gunung Pangrango di dekatnya. Pada daerah-daerah perbatasan dengan hutan, atau di dekat-dekat sungai, orang menanam jenis-jenis kaliandra merah (Calliandra calothyrsus), dadap cangkring (Erythrina variegata), kayu afrika (Maesopsis eminii), jeunjing (Paraserianthes falcataria) dan berbagai macam bambu.

Kembali dengan persepsi Gunung Salak menjadi 'kuburan' pesawat terbang, serangkaian kecelakaan pernah terjadi di gunung yang masuk ke wilayah Taman Nasional Gunung Salak Halimun itu. Di antara catatan itu, pada 15 April 2004, pesawat Paralayang Red Baron GT 500 milik Lido Aero Sport, jatuh di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Sedikitnya tiga orang dinyatakan tewas dalam kecelakaan itu.

Pada 20 Juni 2004, pesawat Cessna 185 Skywagon, jatuh di Danau Lido, Cijeruk, Bogor dengan lima orang tewas. Lalu empat tahun kemudian pada periode yang sama atau Juni 2008, pesawat Casa 212 TNI AU jatuh di Gunung Salak di ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut dengan 18 orang tewas.

Setahun berselang, pada 30 April 2009, kecelakaan kembali terjadi. Kali ini korbannya pesawat latih Donner milik Pusat Pelatihan Penerbangan Curug yang jatuh di Kampung Cibunar, Desa Tenjo, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor. Tiga orang tewas dalam kecelakana itu.

Dan terakhir menimpa pesawat Sukhoi Superjet 100 buatan Rusia, Rabu, 9 Mei 2012 yang jatuh di Gunung Salak dengan jumlah penumpang 46 orang.

Staf Ahli Menristek Bidang Pertahanan Keamanan, Hari Purwanto menyatakan, penerbangan melalui kawasan Gunung Salak tidak seharusnya di ketinggian enam ribu kaki, karena tinggi gunung itu sendiri sekitar 2.200 meter dengan kondisi awan tebal yang selalu meliputi pegunungan itu.

"Biasanya penerbangan dari Halim menuju Pelabuhan Ratu di ketinggian 12.000 kaki dan standar minimum delapan ribu kaki, tapi Sukhoi ini terbang dari ketinggian 10 ribu kaki mengapa turun ke enam ribu kaki," kata Hari Purwanto di Makassar, Kamis (10/5) kemarin.

Menurut dia, ada tiga faktor penyebab jatuhnya sebuah pesawat, yaitu faktor cuaca, faktor kesalahan manusia, dan faktor kelaikan pesawat. Ia juga mengingatkan, Bandara Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu via Gunung Salak, bukan jalur penerbangan dan bukan area yang aman untuk penerbangan. Apalagi, untuk pilot yang tidak terlalu mengerti medan.

Pesawat Sukhoi yang telah dipesan penerbangan swasta Indonesia untuk penerbangan komersil itu, diakuinya sudah diuji di sejumlah negara lain sebelum diuji di Indonesia, seperti di Myanmar atau negara yang pasarnya terbuka bagi pesawat di luar Boeing, Airbus dan lainnya.

Menurut Hari, di masa lalu semua pesawat yang akan digunakan di Indonesia harus melalui 'review' teknologi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), namun sejak satu dekade ini tidak dilakukan lagi.

sumber : Antara/Wikipedia
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement