REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Menyusul jatuhnya pesawat Sukhoi, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT Syamsul Bahri yang ditemui mengatakan, saat berada di dalam kepungan awan seorang pilot memiliki risiko yang tinggi untuk tiba-tiba naik atau tiba-tiba turun.
"Karena itulah, setiap pilot selalu menghindari awan untuk menghindari risiko ini dengan terbang jauh di atas liputan awan. Namun mungkin si pilot belum menguasai medan yang berat ini," kata Kepala Biro Perencanaan BPPT yang berpengalaman menerbangkan pesawat untuk layanan modifikasi cuaca itu.
Sebelumnya, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional memperkirakan, pada saat Sukhoi Superjet 100 menabrak tebing Gunung Salak 9 Mei pukul 14.33 WIB, gunung tersebut sedang diliputi awan Cumulo Nimbus menjulang setinggi 37.000 kaki (11,1 km).
"Logika sederhananya, pilot akan mencari jalan keluar yang paling aman. Namun menaikkan pesawat untuk mengatasi awan mungkin dianggap terlalu tinggi, dari 10 ribu kaki harus terbang melebihi 37 ribu kaki. Karena itu, pilihannya hanya mencari jalan ke kanan, kiri, atau bawah," kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan Thomas Djamaluddin, melalui ponsel dari Jakarta, Sabtu (12/5).
Karena itu, pilihan minta izin menurunkan ke 6.000 kaki, ujarnya, mungkin juga didasarkan pertimbangan ada sedikit celah yang terlihat di bawah, tetapi terlambat memperhitungkan risiko yang lebih fatal dengan topografi yang bergunung-gunung.