REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU Nomor 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik atau jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding atas putusan praperadilan. Kejaksaan Agung pun pasrah dengan putusan tersebut.
"Ya, saya kira kan putusan MK itu ada final and binding (mengikat), tentu tidak bisa kita lakukan upaya hukum apapun," kata Jaksa Agung, Basrief Arief yang ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (10/5).
Basrief menambahkan dengan MK telah memutuskan tidak ada lagi proses banding terhadap putusan praperadilan, maka pihaknya akan melaksanakannya. Namun begitu Basrief tetap optimistis dengan pembahasan KUHAP yang akan datang.
"Jadi kita lihat saja nanti untuk pembahasan KUHAP yang akan datang. Sekarang kalau itu sudah jadi putusan MK, itu akan kita patuhi," tegasnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya menyatakan menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan. Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan anggota polisi, Tjetje Iskandar yang memohon pengujian pasal itu.
"Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata ketua majelis MK, Mahfud MD saat membacakan putusannya di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, pada 1 Mei 2012 lalu.
Tjeje memohon pengujian Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP lantaran dinilai diskriminatif. Sebab, pasal itu hanya membolehkan termohon (penyidik/jaksa penuntut umum) praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan terkait sah-tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan dikabulkan majelis hakim. Sementara, bagi pemohon praperadilan tidak tersedia upaya hukum banding.