REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah membatasi subsidi BBM mulai Mei mendatang ditanggapi dingin sebagian kalangan. Salah satunya dari Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas).
"Kami khawatir sosialisasinya yang minim," kata Ketua Umum Hiswana Migas, Eri Purnomo Hadi dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/4).
Dikatakannya, untuk menerapkan kebijakan pembatasan tersebut, pemerintah harus memastikan pengawasan terhadap pelaksanaannya di tingkat SPBU. Menurutnya, pelaksanaan kebijakan ini sangat berpotensi terjadi penyelewengan. "Pasokan (BBM) premium akan berkurang sementara disparitas harganya dengan pertamax sangat tinggi," ujarnya.
Untuk memastikan tidak adanya penyelewengan dan kekisruhan, lanjut Eri, pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni di lapangan. Untuk mencapainya, dibutuhkan pelatihan dan simulasi praktik pengawasan terlebih dahulu. "Petunjuk teknisnya belum ada," sebut dia.
Eri berpendapat, pembatasan dengan melarang mobil dinas mengkonsumsi BBM bersubsidi adalah ajang uji coba bagi pemerintah. Dalam tahap ini, diperkirakan tidak akan menemui banyak kendala karena mobil dinas pada umumnya dapat dengan mudah diidentifikasi dengan plat nomor merah. "Tapi masalahnya sekarang kan banyak mobil dinas yang berplat nomor hitam," imbuhnya.
Saat ini jumlah mobil dinas milik pemerintah mencapai 12 ribu unit. Dengan jumlah yang terbilang tidak terlalu banyak ini, Eri menilai merasa diperlukan adanya tim pengawas khusus di seluruh SPBU. "Di beberapa titik saja sebagai percontohan dulu. Petugas pengawasnya idealnya dari pemerintah," ujar dia.