Jumat 20 Apr 2012 10:47 WIB

Akses Listrik Masyarakat Adat Kian Terancam

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Heri Ruslan
Pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke-4 di Tobelo Halmahera Utara Maluku Utara Dibuka Dengan Festival Air, Kamis (19/4).
Foto: Beritasatu.com/Ulin Yusron
Pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke-4 di Tobelo Halmahera Utara Maluku Utara Dibuka Dengan Festival Air, Kamis (19/4).

REPUBLIKA.CO.ID, TOBELO -— Peluang masyarakat adat untuk bisa mendapatkan akes listrik semakin  terancam. Kerusakan lingkungan serta sumber daya alam (SDA) yang ada di dalamnya, dituding menjadi penyebab utama.

Sejumlah potensi pengembangan sumber energi terbarukan banyak mengalami kerusakan akibat penguasaan hutan adat. Terutama oleh kepentingan ekonomi yang kurang berpihak kepada masyarakat adat.

“Bagaimana kami bisa mengembangakan energi listrik berbasis mikrohidro, kalau kami terus terdesak,” ungkap Ruslan Haji Hamid, perwakilan masyarakat adat Khaltim, Maluku Utara dalam sarasehan ‘Kemandirian Energi Komunitas Adat Berbasis Energi Terbarukan Sesuai Potensi di Daerahnya’, di aula Gonsalo, Tobelo, Jumat (20/4).

Hal serupa juga disampaikan Makarmis, salah satu utusan masyarakat adat Krayan, Provinsi Kalimantan Timur. Menurutnya,  saat ini banyak komunitas dan masyarakat yang tergusur oleh kepentingan ekonomi modern.

Termasuk pemberian ijin pengelolaan hasil hutan yang sebenarnya merupakan hutan adat. Akibatnya masyarakat adat kian mengalami kesulitan, baik dalam hal memanfaatkan sumber daya alam maupun sumber ekonominya, termasuk kapasitas diri masyarakat adat.

Untuk merintis kemandirian energi masyarakat adat berbasis potensi yang ada di wilayah masing- masing memang sangat mulai. Namun ia berpendapat agar pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan ini lebnih mengacu kepada penguatan sumber daya manusia (SDM).

“Misalnya dengan memperbanyak pelatihan-pelatihan dan peningkatan kapasitas lain tentang keahlian dalam memanfaatkan teknologi pemanfaatan sumber energi yang terbarukan,” jelasnya.  

Sebelumnya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Arief Fiyanto dalam diskusi ini menjelaskan pentingnya kemandirian energi komunitas adat berbasis energi terbarukan.

Ia menjelaskan, saat ini rasio  elektrisasi penduduk Indonesia –yang mencapai 230 juta jiwa—baru mencapai 65 persen. Sisanya sebanyak 35 persen penduduk negeri ini belum mendapatkan akses listrik dan umumnya mereka adalah penduduk yang tinggal di wilayah terdepan.

Ttermasuk di dalamnya masyarakat adat yang banyak tinggal di pedalaman daerah terluar. Yang memprihatinkan, 90 persen akses listrik ini bersumber dari sumber energi tak terbarukan seperti fosil, yang pemanfaatannya kian mengancam lingkungan.

“Hanya kurang dari 5 persen akses listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, mikrohidro dan panas bumi,” paparnya.

Ia menjelaskan, pemanfaatan sumber energi tak terbarukan kian mengancam masyarakat adat akibat dampak yang ditimbulkan, seperti terjadinya fenomena perubahan iklim yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara konsumsi energi listrik di negeri ini tiap tahun mengalami kenaikan berkisar 7 persen per tahun. Sementara upaya untuk mengurangi pemanfaatan sumber energi tak terbarukan belum dapat dilakukan.

Padahal sejumlah peluang pengembangan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan cukup tersedia. “Misalnya potensi panas bumi yang diperkirakan mampu menghasilkan energi listrik hingga 29 ribu Mega Watt, mini dan mikro hidro, biomassa dan sebagainya,” jelas Arief.

Sementara Technical Advisor Jaringan Orang Asal se-Malaysia (JOAS), Adrian Lasimbang merekomendasikan, perlu pusat- pusat pelatihan pemanfaatan dan penguasaan teknologi listrik berbasis sumber energi terbarukan.

“Karena menciptakan SDM merupakan tantangan yang cukup berat dalam pengembangan energi listrik di kalangan masyarakat adat,” lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement