REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--DPR berencana untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 16/2004 tentang kejaksaan agung. Salah satu pembahasan yang diperkirakan hangat yaitu adanya keinginan DPR untuk ikut serta dalam pemilihan jaksa agung. Padahal, sebelumnya pemilihan jaksa agung sepenuhnya menjadi kewenangan presiden.
Menanggapi itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan usulan wajar. Pasalnya, harus ada perlakuan sama kepada panglima TNI, kapolri, jaksa agung, dan ketua KPK. Alasannya, jabatan itu bukan lagi anggota kabinet sehingga tak lagi diangkat dan diberhentikan mutlak hanya oleh presiden.
Sehingga, untuk proses checks and balances harus dengan persetujuan DPR sebagai hak konfirmasi. Tapi proses itu bukan dengan fit and proper test, melainkan seperti terhadap kapolri dan panglima TNI yang calonnya hanya diajukan satu untuk disetujui atau tidak.
''Jangan lagi biarkan jaksa agung diperlakukan sebagai anggota kabinet yang dingkat dalam satu keppres oleh presiden,'' katanya ketika dihubungi, Selasa (17/4).
Jimly mengaku, memang ada hutang intelektualnya sebagai staf Presiden BJ Habibie yang menyarankan agar pencoretan jaksa agung dari kabinet ditunda. Akhirnya sampai saat ini status jaksa agung belum sempat ditata ulang. ''Ternyata sampai sekarang masih belum berubah sampai muncul kasus Yusril vs Hendarman Supandji.''
Ia menambahkan, posisi menteri dan jaksa agung memiliki perbedaan. Menteri memang mesti tunduk dan bertanggung jawab ke presiden. Sedangkan kejaksaan dalam menegakkan hukum brsifat independen.
''Tentang DPR, bukan pertimbangan, tapi persetujuan (right to confirm). Yang penting jangan fit and proper test dan pemilihan seperti KPK atau BI. Sebaiknya seperti Panglima TNI dan kapolri,'' jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.