Senin 16 Apr 2012 10:07 WIB

Penegakkan Hukum di UU Pemilu, Sumir

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Dewi Mardiani
Loby Paripurna RUU Pemilu
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Loby Paripurna RUU Pemilu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang disahkan DPR dalam rapat paripurna 12 April 2012 lemah dalam hal penegakan hukum. Hal ini akan semakin menjadikan pemilu rawan konflik dan belum tentu nantinya akan terselesaikan dengan mudah.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Senin (16/4), menilai, "Penegakan hukum pemilu dalam UU ini masih sumir dalam menjelaskan mekanisme penyelesaian permasalahan hukum pemilu, baik pelanggaran administratif, pidana, maupun sengketa administratif pemilu."

Titi mengemukakan lebih detail tentang beberapa ketidakjelasan itu, antara lain, pertama, pelanggaran administratif. Hal ini membuat mekanisme penyelesaian lebih panjang, yaitu dengan melibatkan Bawaslu-Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara-Mahkamah Agung.

Kedua, terhadap pelanggaran pidana pemilu. Jangka waktu pelaporan tindak pidana pemilu, katanya, masih singkat, yakni tujuh hari setelah perbuatan dilakukan. Hal ini berarti segala perbuatan yang diketahui setelah jangka waktu tersebut menjadi gugur.

Ketiga, adalah soal sengketa administratif yang dinilai masih terdapat tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan perkara antara KPU dan Bawaslu. "Sehingga penanganan penyelesaiannya berbelit-belit," katanya.

Titi menambahkan bahwa dalam aturan baru itu terdapat beberapa perubahan. Di antaranya adalah dari rumusan pasal, tahapan penyelenggaraan pemilu, daerah pemilihan, alokasi kursi, dan lainnya. Namun, katanya, perubahan substansinya tidak signifikan. Karena itu, pihaknya khawatir pelaksanaan Pemilu 2014 bakal lebih buruk dari Pemilu 2009.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement