REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara (PLN), Eddie Widiono Sowondho, mengajukan permohonan pengujian Pasal 6 huruf a beserta penjelasannya terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang biasa disebut KPK.
Menurut kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail, masalah pokok yang jadi bahan ajuan tuntutan pihaknya adalah mengenai kewajiban badan atau lembaga yang boleh melakukan perhitungan kerugian keuangan negara. Dalam kapasitas tersebut, menurut dia adalah menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tapi, lanjutnya, KPK malah menggunakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Yang dalam kaitannya adalah saat KPK menetapkan pemohon menjadi tersangka dengan menggunakan hasil pemeriksaan BPKP. "Penetapan itu tidak ada kepastian hukumnya," kata Maqdir saat membacakan permohonan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (13/4).
Magdir menilai, Pasal 6 huruf (a) UU KPK beserta penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang saat ini dialami pemohon. Menurut dia, Pasal 6 Huruf a UU KPK berbunyi "Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi". Sedangkan penjelasannya berbunyi "Yang dimaksud dengan 'instansi yang berwenang' termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen".
Pada pertentangan yang dipakai, Magdir mengatakan bahwa dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Sedangkan untuk Pasal 23 E ayat (3) berbunyi: "Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang".
Pada kenyataannya, kata dia, ketentuan pasal tersebut dan penjelasannya UU KPK bertentangan dengan konstitusi dan telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta berbenturan dengan kewenangan BPK dan BPKP.
Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa Kepres Nomor 64 Tahun 2005 Pasal 52 dan Pasal 53 BPKP tidak lagi berfungsi dan berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara serta menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP, kata dia, tidak memiliki kewenangan atau bertugas memeriksa dan mengevaluasi good corporate atau governance serta laporan akuntabilitas kinerja BUMN. Menurut dia, hanya BPK yang mempunyai kewenangan melakukan perhitungan kerugian negara sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Karena itu, Maqdir menyatakan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan menunjuk BPKP melakukan perhitungan kerugian negara. Menurut dia, KPK seharusnya memenuhi aturan perundang-perundangan dengan menggunakan BPK dalam membantu penyelidikan. "Penggunaan ketentuan pasal seperti ini tidak dibenarkan," ujarnya.
Dalam sidang permulaan yang dipimpin oleh Hakim Mahkamah, Achmad Sodiki, Pemohon disarankan untuk memperbaiki permohonan. Sodiki memberikan saran kepada kuasa hukum pemohon untuk tidak terjebak untuk menguji kasus.
"Kasus yang anda cantumkan dapat digunakan untuk menguatkan pokok permohonan. Tetapi, jangan sampai terjebak untuk membahas kasus. Karena yang diujikan ini adalah pasalnya," ungkap Sodiki.